Oleh:
Kelompok 2
Amelia
Nurrostika Sari 145030130
Arif
Fauzan Rahman 145030141
Fiki
Rachmawati 145030131
Irma
Nurismayanti 145030144
Nabillah
zahra 145030107
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Era
informasi identik dengan era literasi yang menggambarkan kemampuan
berinteraksi, berkomunikasi, bahkan beraktualisasi tidak cukup hanya dinyatakan
secara lisan, namun juga secara tertulis. Sulzby
(1986) menjelaskan, literasi adalah kemampuan berbahasa seseorang (menyimak,
berbicara, membaca, dan menulis) untuk berkomunikasi dengan cara yang berbeda
sesuai dengan tujuannya. Selanjutnya Sulzby
juga menyatakan literasi secara sempit,
yaitu literasi sebagai kemampuan membaca dan menulis. Graff (2006) mengartikan
literasi sebagai kemampuan untuk membaca dan menulis.
Literasi
sangat penting bagi siswa karena keterampilan literasi akan berpengaruh
terhadap keberhasilan belajar mereka dan kehidupannya. Keterampilan literasi
yang baik akan membantu siswa dalam memahami teks lisan, tulisan, maupun
gambar/visual, oleh karena itu pengembangan literasi siswa dalam pembelajaran
selalu dilakukan secara terpadu antara kegiatan menyimak, berbicara, membaca
dan menulis. Hal itu karena keempat keterampilan tersebut memiliki hubungan yang sangat erat, meskipun
masing-masing memiliki ciri tertentu. Karena adanya hubungan yang sangat erat
ini, pembelajaran dalam satu jenis keterampilan dapat meningkatkan keterampilan yang lain. Misalnya
pembelajaran membaca, dapat juga meningkatkan keterampilan berbicara, menyimak
dan menulis. Setelah siswa membaca,
tentunya guru akan memberikan pertanyaan tentang isi bacaan ( berbicara), dan
siswa diminta menceriterakan kembali apa yang dibaca dengan bahasanya sendiri
(berbicara), berikutnya siswa menuliskan apa yang diceritakan dengan tata tulis
yang benar (menulis).
B. Rumusan Masalah
1)
Apakah definisi dari literasi?
2)
Bagaimanakah proses literasi?
3)
Seperti apakah peristiwa literasi?
4)
Bagaimanakah strategi literasi?
C. Tujuan
Adapun tujuan dari makalah Pengembangan Wawasan Literasi:
1)
Mampu menjelaskan definisi definisi menurut para ahli.
2)
Mampu menjelaskan proses literasi.
3)
Mampu menjelaskan peristiwa literasi.
4)
Mampu menjelaskan strategi literasi.
BAB II
PEMBAHASAN MATERI
A.
Pengertian dan Landasan Literasi
1.Pengertian
Literasi
Menurut Teale dan Sulzby (dalam Gipayana, 2010:9), konsep
pengajaran literasi diartikan sebagai kemampuan membaca dan menulis. Seseorang
disebut literate apabila ia memiliki
pengetahuan yang hakiki untuk digunakan dalam setiap aktivitas yang menuntut
fungsi literasi secara efektif dalam masyarakat dan pengetahuan yang dicapainya
dengan membaca, menulis, dan arithmetic
memungkinkan untuk dimanfaatkan bagi dirinya sendiri dan perkembangan
masyarakat (Gipayana, 2010: 9-10).
2. Landasan Literasi
Ada dua hal yang menjadi rujukan penting dalam konsep
pengajaran literasi, yaitu pengajaran literasi yang berdimensi praktik sosial
dan pengajaran literasi yang berdimensi proses sosial. Berbagai teori muncul
dari para ahli mengenai perubahan pandangan terhadap pemahaman yang salah
satunya dikenal dengan teori Rosenbalt. Menurut Clay, 1985; Teale &Sulzby,
1986, para peneliti mulai mengarahkan guru-guru untuk menyajikan pengajaran
membaca pemahaman pada perspektif yang lebih luas, yakni pengajaran literasi (dalam
Gipayana, 2010:18). Perspektif itu sendiri berpijak pada teori perkembangan
literasi ‘emergent literacy’,
pemerolehan bahasa ‘language acquisition’,
dan skemata ‘schema’.
a. Teori perkembangan Literasi
Teori
perkembangan literasi merupakan suatu gagasan yang menyebutkan bahwa kemampuan
membaca dan menulis berkembang secara bersamaan dan bersifat interaktif (Stickland, 1990; Teale dan
Sulzby, 1986 dalam Gipayana,2010: 18). Berdasarkan teori ini, dalam konsep
pengajaran literasi elemen-elemen proses komunikasi tidak lagi diajarkan secara
diskrit.
b. Teori pemerolehan Bahasa
Salah satu teori menyebutkan bahwa proses pemerolehan bahasa
berlangsung terus menerus melalui interaksi dan pengalaman sosial
(Cook-Gumprez, 1986; Wells, 1990 dalam Gipayana.2010:19). Teori-teori
pemerolehan bahasa memberikan pemahaman tentang bagaimana anak-anak memperoleh
bahasanya. Menurut Cooper, 1993:10 dalam Gipayana, 2010: 20) secara mendasar
dapat disimpulkan bahwa anak-anak memperoleh bahasa:
1) Pada waktu mereka memiliki keperluan
yang berarti dan nyata
2) Melalui interaksi dengan teman
sebaya dan orang dewasa
3) Dengan menggunakan perkiraan bahasa
secara nyata
4) Dengan kecepatan yang berbeda-beda meskipun mereka
berangkat dari tahap perkembangan yang sama.
Pemahaman-pemahaman tersebut menjadi pijakan yang kokoh
untuk pengembangan program pengajaran literasi.
c. Teori Skemata
Teori skemata memberikan sumbangan yang sangat berarti
terhadap konsep pengajaran literasi. Teori ini menjelaskan bagaimana struktur-struktur
itu dibentuk dan dihubungkan dengan struktur-struktur yang lainnya (Gipayana,
2010:21). Skemata adalah struktur-struktur yang mewakili konsep-konsep umum
yang terekam dalam memori (Rumelhart, 1980 dalam Gipayana, 2010:21). Skemata
akan terus berkembang mengonstruksi pengetahuan baru dengan pengetahuan
menghubungkan skemata yang ada dengan informasi baru dalam teks. Walaupun skema
yang ada tidak siap untuk suatu topik atau konsep, skemata baru akan dapat
terbentuk apabila informasi yang dipeoleh mencukupi.
B.
Proses Literasi
Kata
literasi tentu sudah tidak asing bagi telinga kita. Kata tersebut bahkan
menjadi kata yang sering terucap. Dahulu kita hanya mengetahui bahwa pengertian
literasi itu hanya sekedar kemampuan membaca dan menulis (7th
Edition Oxford Advanced Learner’s Dictionary, 2005:898). Walaupun definisi
(lama) literasi adalah kemampuan membaca dan menulis, namun istilah literasi
jarang dipakai dalam konteks pembelajaran persekolahan di Indonesia. Hal ini
dapat terlihat dari tidak adanya literasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Persekolahan di Indonesia nampaknya lebih senang menggunakan istilah pengajaran
bahasa atau pelajaran bahasa daripada menggunakan istilah literasi. Pada masa
itu, membaca dan menulis mungkin dianggap cukup sebagai pendidikan dasar bagi
manusia guna menghadapi tantangan zaman dan kerasnya kehidupan.
Makna literasi semakin berkembang
dari waktu ke waktu. Perkembangan makna tersebut mengikuti perkembangan zaman
yang bergerak cepat. Perkembangan zaman yang pesat jugalah yang membukakan
tirai penutup literasi. Sekarang kita tahu bahwa literasi tak melulu
baca-tulis. Literasi adalah praktik kultural yang berkaitan dengan persoalan
sosial dan politik. Oleh karenanya para pakar pendidikan dunia berpaling kepada
definisi baru tentang literasi. Selain itu, dewasa ini kata literasi banyak
disandingkan dengan kata-kata lain, misalnya literasi komputer, literasi
virtual, literasi matematika dan sebagainya. Hal tersebut merupakan
transformasi makna literasi karena perkembangan zaman. Oleh sebab itu, Freebody dan Luke menawarkan model literasi sebagai berikut:
1. Memahami konteks dalam teks: mengenali dan
menggunakan fitur seperti alfabet, suara, ejaan, konvensi dan pola teks.
2. Terlibat dalam memaknai teks: memahami dan menyusun
teks tertulis dan teks virtual dan lisan yang berati dari budaya tertentu,
lembaga, keluarga, masyarakat, negara-negara dan lain-lain. Menggambarkan skema
yang ada.
- Menggunakan teks secara fungsional.
- Melakukan analisis dan mentransformasikan teks secara kritis: memahami dan bertindak atas pengetahuan bahwa teks-teks tidak netral. Teks mewakili pandangan tertentu, diam, mempengaruhi ide-ide orang. Desain teks dan wacana dapat dikritik dan didesain ulang dengan cara baru dan hibrida.
Keempat peran literasi ini dapat diringkas kedalam lima
verba: memahami, melibati, menggunakan, menganalisis dan mentransformasikan
teks (Rekayasa Literasi : 160).
Pesatnya perkembangan zaman membuat
definisi literasi berevolusi. Makna literasi yang pada awalnya hanya baca-tulis
berkembang menjadi lebih luas dan lebih kompleks. Makna literasi tak melulu
soal baca-tulis, namun walaupun demikian, literasi masih memiliki kaitan dengan
kebahasaan. Berpikir kritis, dapat menghitung, memecahkan masalah, cara untuk
mencapai tujuan, mengembangkan ilmu pengetahuan dan potensi seseorang merupakan
definisi baru mengenai literasi. Perubahan yang sangat signifikan memang. Dari
definisi yang hanya sekedar baca-tulis bertransformasi menjadi definisi yang
kompleks. Berikut meruapakan kajian disiplin yang memiliki tujuh dimensi yang
berkaitan:
- Dimensi Geografis (lokal, nasional, regional, dan internasional): Bergantung pada tingkat pendidikan dan jejaring sosial dan vokasionalnya (kecakapan kejuruan).
- Dimensi Bidang (pendidikan, komunikasi, administrasi, hiburan, militer, dsb): Literasi suatu bangsa tampak dalam dimensi ini. Pendidikan yang berkualitas tinggi menghasilkan literasi yang berkualitas tinggi pula. Hal ini karena bidang pendidikan merupakan ujung tombak kebangkitan suatu bangsa.
- Dimensi Keterampilan (membaca, menulis, menghitung, berbicara): Literasi seseorang tampak atau tercermin dari dimensi ini. Semua sarjana mampu membaca, akan tetapi tidak semua sarjana mampu menulis. Oleh sebab itu, keterampilan sangat diperlukan. Selain itu, tidak cukup dengan mengandalkan literasi saja (dalam hal ini membaca dan menulis) namun harus juga memiliki kemampuan numerasi (keterampilan menghitung)
- Dimensi Fungsi (memecahkan persoalan, mendapatkan pekerjaan, mencapai tujuan, mengembangkan pengetahuan, mengembangkan potensi diri): Orang yang literat karena pendidikannya mampu memecahkan masalah dan mengatasi semua tentang kehidupan yang menghampirinya.
- Dimensi Media (teks, cetak, visual, digital): Menjadi seorang literat zaman sekarang orang harus mengandalkan kemampuan membaca dan menulis teks cetak, visual dan digital. Perkembangan IT sangat penting dan berpengaruh banyak terhadap gaya berliterasi.
- Dimensi Jumlah (satu, dua, beberapa): Jumlah dapat merujuk pada banayak hal, misalnya bahasa, variasi bahasa, peristiwa tutur, bidang ilmu dan media. Literasi seperti halnya kemampuan berkomunikasi, bersifat relatif.
- Dimensi Bahasa (etnis, lokal, nasional, regional, internasional): Ada literasi yang singular dan ada yang plural.
Selain tujuh dimensi literasi di atas, ada 10 gagasan
kunci tentang literasi yang menunjukkan perubahan paradigma literasi karena
perubahan zaman dan perkembangan ilmu pengetahuan, yaitu:
1. Ketertiban
lembaga-lembaga sosial: Lembaga-lembaga menjalankan perannya dengan fasilitas
bahasa sehingga muncul bahasa birokrat atau politik.
2. Tingkat kefasihan
relatif: Setiap literasi memerlukan kefasihan berbahasa dan literasi yang
berbeda, tergantung situasinya.
3. Pengembangan potensi
diri dan pengetahuan: Pada tahap tinggi literasi membekali mahasiswa kemampuan
memproduksi dan memproduksi ilmu pengetahuan.
4. Standar dunia
5. Warga masyarakat
demokratis: Media adalah salah satu pilar demokratis. Pendidikan literasi harus
mendukung terciptanya demokratisasi bangsa.
6. Keragaman lokal
7. Hubungan global:
Literasi tingkat ini bergantung pada dua hal, yaitu penguasaaan teknologi
informasi dan penguasaan konsep atau pengetahuan yang tinggi.
8. Kewarganegaraan yang
efektif: Yaitu warga negara yang mampu mengubah diri, menggali potensi diri,
serta berkontribusi bagi keluarga, lingkungan dan negaranya. Warga negara yang
efektif mengetahui hak dan kewajibannya (citizenship literacy).
9. Berbahasa Inggris
ragam dunia
10. Kemampuan berpikir
kritis: Literasi bukan sekedar mampu membaca dan menulis, melainkan juga
menggunakan bahasa secara fasih, efektif dan kritis.
11. Masyarakat semiotik:
Budaya adalah sistem tanda, oleh karenanya memaknai tanda terlebih dahulu harus
menguasai literasi semiotik.
Tanpa arah semua menjadi kacau balau dan tak menentu. Di
kehidupan ini kita harus punya petunjuk arah guna menjauhkan kita dari tersesat
dalam peliknya kehidupan. Petunjuk arah dalam kehidupan adalah prinsip. Sebagai
petunjuk arah kita dapat berpegang pada prinsip tersebut. Sama seperti
kehiduapan, pendidikan bahasa berbasis literasi pun mempunyai prinsip. Berikut
adalah tujuh prinspi yang harus diterapkan dalam pendidikan bahasa berbasis
literasi:
- Literasi adalah kemampuan hidup (life skill).
- Literasi mencakup kemampuan reseptif dan produktif dalam upaya berwacana.
- Literasi adalah kemampuan memecahkan masalah.
- Literasi adalah refleksi penguasaan dan apresiasi budaya.
- Literasi adalah kegiatan refleksi (diri).
- Literasi adalah kolaborasi.
- Literasi adalah kegiatan melakukan interpretasi.
Ada tiga
paradigma pembelajaran literasi (Kucer: 2000), yakni:
Decoding: siswa membangun literasi dengan diajari terlebih dahulu
tentang literasi, yakni bagaimana memaknai kode bahasa (decoding). Siswa
belajar secara deduktif. Dalam paradigma ini berlaku rumu→ belajar melalui
literasi
Skill (keterampilan): siswa membangun literasi dengan diajari terlebih dahulu dalam s:
Perkembangan literasi = belajar tentang lit erasi → belajar literasi pengetahuan tentang literasi, yakni cara memaknai bentuk-bentuk bahasa seperti morfem dan kosa kata. Siswa belajar secara deduktif. Berlaku rumus:
Perkembangan literasi = belajar tentang literasi → belajar literasi → belajar melalui literasi
Whole Language (bahasa secara utuh): siswa pengumpulkan data, membuat hipotesis, menguji hipotesis dan mengubah hipotesis terus menerus. Dengan sendirinya keterampilan berbahasa ditemukan. Siswa belajar secara induktif. Berlaku rumus:
Perkembangan literasi adalah belajar melalui literasi → belajar literasi → belajar tentang literasi
Skill (keterampilan): siswa membangun literasi dengan diajari terlebih dahulu dalam s:
Perkembangan literasi = belajar tentang lit erasi → belajar literasi pengetahuan tentang literasi, yakni cara memaknai bentuk-bentuk bahasa seperti morfem dan kosa kata. Siswa belajar secara deduktif. Berlaku rumus:
Perkembangan literasi = belajar tentang literasi → belajar literasi → belajar melalui literasi
Whole Language (bahasa secara utuh): siswa pengumpulkan data, membuat hipotesis, menguji hipotesis dan mengubah hipotesis terus menerus. Dengan sendirinya keterampilan berbahasa ditemukan. Siswa belajar secara induktif. Berlaku rumus:
Perkembangan literasi adalah belajar melalui literasi → belajar literasi → belajar tentang literasi
Perjalanan
yang panjang mengulas tentang literasi yang berevolusi dan bertrasnformasi
maknanya. Sekarang ini, makna literasi menjadi lebih kompleks dan luas. Selain
itu, literasi juga ternyata sangat berpengaruh pada perkembangan suatu bangsa.
Tingginya literasi berbanding lurus dengan kemajuan negaranya. Tingkat
kemampuan literasi kita dapat diukur dengan tujuh dimensi dalam literasi.
Sehingga, kita dapat melihat apakah kita telah bagus disemua bidangnya. Daya
literasi individu berkontribusi pada daya literasi suatu negara. Maka, setelah
kita mengetahui sejauh mana kemampuan literasi kita, kita dapat berbedah diri
demi kemajuan bangsa ini. Sudah menjadi berita biasa bila Indonesia menempati
strats bawah dalam literasi dunia. Oleh sebab itu, rekayasa literasi perlu
dilakukan di Indonesia. Merekayasa pengajaran literasi menajdi pilihan yang
bijak karena hanya dalam dunia pendidikanlah pengejaran literasi dapat
ditanamkan pada siswa. Pendidikan merupakan ujung tombak kemajuan literasi.
C.
Peristiwa Literasi
Indonesia adalah negara multikulturalisme yang memiliki lebih dari 17.000
pulau dan berpenduduk lebih dari 237 juta orang yang berasal dari 200 lebih
suku bangsa. Kenyataan tersebut menempatkan Indonesia di urutan negara yang
populasinya tertinggi. Motto “bhineka
tunggal ika” atau Persatuan dalam Keragaman merupakan dua sisi koin untuk
menggambarkan negeri ini. Dalam wacana politik, motto itu dimaknai secara tidak
proporsional dengan mengutamakan kesatuan dan mengabaikan keberagaman. Kita
tahu, pada masa silam banyak upaya untuk mengembangkan bahasa daerah, kesenian
daerah, dan hal yang berkaitan dengan kesukubangsaan dianggap membahayakan dan
mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. Pada 1950-an orang yang aktif dalam kegiatan
kebudayaan atau kesenian daerah tak mustahil akan dituduh separatis,
provinsialis, federalis atau berbagai tuduhan negatif lainnya (Rosidi:2012).
Akibatnya, masyarakat kurang peduli terhadap budaya etnisnya, apalagi terhadap
etnis lain.
Multikulturalisme
Secar harfiah, kombinasi multi
(banyak, berbagai, plural) plus kultur
(budaya) mudah dipahami,yakni hal-ihwal adanya berbagai budaya. Makna kultur sulit disederhanakan sebab
istilah ini merujuk ke berbagai hal menyangkut manusia sebagai makhluk berbudaya.
Isme berarti faham, maka
multikulturalisme bisa berarti paham, aliran pemikiran, teori, atau sekedar
sudut pandang. Inilah pengertian gelombang pertama mengenai multikulturalisme
yang dicirikan oleh dua hal: (1) kebutuhan terhadap pengakuan atas keberagaman
budaya dan (2) legitimasi keberagaman budaya atau pluralisme budaya. Pada
gelombang kedua, multikulturalisme merujuk pada sejumlah pemikiran, yaitu: (1)
studi kultural (cultural studies),(2)
pascakolonialisme, (3) globalisasi, (4) feminisme, (5) teori ekonomi politik
neo-Marxisme, dan (6) pascakulturalisme. Namun, inti dari semua ini adalah tiga
tantangan besar yang mesti dihadapi, yaitu hegemoni Barat, esensialisasi
budaya, dan proses globalisasi (Tilaar,2004).
Esensialisasi budaya dalam perspektif multikulturalisme mengikuti tujuh
prinsip bebagai berikut:
1.
Kebudayaan selalu dinamis dalam kubangan sosial yang
terus berubah. Dalam bejana multikultural Indonesia, praktik-praktik kebudayaan
selalu memunculkan tafsir baru. Tafsir baru inilah esensi kritik terhadap
budaya sendiri, dan hal ini hanya mungkin bisa terjadi dialog kebudayaan secara
cerdas dan terus-menerus.
2.
Praktik kebudayaan mesti dikaitkan dengan kekuasaan.
3.
Kebudayaan merupakan objek kajian dan lokasi tindakan
berpolitik.
4.
Pentingnya pendekatan lintas disiplin dan studi banding
dalam kritik kebudayaan. Dengan demikian, wacana kebudayaan harus terbuka bagi
siapa pun yang ingin mempelajarinya.
5.
Pentingnya rekonstruksi dalam kritik kebudayaan.
Paham multikulturalisme bukannya tanpa kritik. Multikulturalisme yang
radikal cenderung menekankan perbedaan kelompok dengan melupakan persamaan
antarsesama. Seperti yang disimpulkan oleh Arifin (2011), dampak negatif
multikulturalisme radikal adalah:
1.
Merusak kohesi spasial, menghilangkan identitas nasional,
dan menggerus nilai-nilai kewargaan.
2.
Mencegah integrasi minoritas dan menciptakan
kantung-kantung kelompok militan dan gerakan separatis.
3.
Menyebabkan penindasan oleh minoritas tertentu terhadap
minoritas lainnya.
4.
Menimbulkan bahaya bagi perempuan.
5.
Cenderung mengekang budaya.
Banyaknya konflik antarsuku maupun antar umat beragama di Indonesia selama
ini membuktikan bahwa pendidikan nasional gagal mendidik warga negara untuk
hidup baik dan harmonis dalam negara Indonesia yang multikultural.
Gerakan-gerakan separatis yang mengancam persatuan nasional harus diselesaikan
dengan pendekatan pendidikan dan kebudayaan, bukan dengan pendekatan politik,
apalagi militer. Sistem pendidikan nasional harus ditata ulang agar menumbuhkan
kembali komitmen pemerintah dan bangsa terhadap pentingnya keragaman dan
persatuan. Mustahil membangun Indonesia tanpa mengenal dan menghargai
perbedaan. Suara hati setiap suku bangsa di negara ini harus didengar untuk
mengembangkan toleransi, yang berarti menyadari betul adanya perbedaan keyakinan,
nilai hidup, dan cara pandang terhadap dunia.
Berdasarkan Undang-Undang No. 20 Tahun 2003, pendidikan merupakan usaha
sadar dan sistematis untuk menciptakan lingkungan pembelajaran dan proses
pendidikan, sehingga siswa dapat mengembangkan potensinya, termasuk
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, perilaku baik, dan keterampilan
yang penting bagi dirinya, masyarakat, dan negara. Undang-Undang juga menetapka
bahwa fungsi pendidikan di antaranya adalah mengembangkan kompetensi, karakter,
dan peradaban. Perangkat hukum dan perundang-undangan telah dirumuskan dengan
sempurna, tapi dalam pelaksanaannya sering menghadapi kendala.
Sebagai negara yang multikultural, Indonesia seharusnya menerapkan
pendidikan multikultural, yang berfungsi antara lain untuk mengubah cara
berpikir dan menilai kultur orang lain, dan untuk mengenal identitas diri
sendiri dan identitas orang lain. Sayang sekali, di Indonesia belum ada model
pendidikan multikultural. Seperti yang disarankan oleh Tilaar: “education, we have to study various aspects
of is philoshophy, methodology, its content and its challenges in its
performance” (Tilaar 2004:361).
Beliau mengidentifikasi lima program untuk mengembangkan program
multikultural, yakni lembaga pendidikan sebagai pusatnya, pendidikan kewarganegaraan
(civics education), kurikulum
multikultural, kebijakan perbukuan, dan pendidikan guru. Kutipan di atas
menyiratkan bahwa:
1.
Pendidikan nasional belum menerapkan pendidikan
multikultural.
2.
Pendidikan multikultural memiliki filsafat, metodologi, dan
substansinya sendiri.
Ambil contohpenelitian Zuriah (2011) yang mengembangkan kurikulum
pendidikan multikultural berbasis kearifan lokal. Model pembelajaran ini
terbukti lebih efektif dalam peningkatan kompetensi siswa seperti toleransi dan
kemampuan menghargai orang lain jika dibandingkan dengan model pembelajaran
konvensional. Beliau antar lain menggunakan sejumlah ungkapan tradisional Jawa,
seperti sing gedhe ora kena gumedhe, sing
cilik ora kena mitek (yang besar jangan sombong yang kecil jangan putus
asa), sayuk rukun saiyeg saeka praya (bersatu
untuk mencapai tujuan bersama), gotong royong dan sebagainya. Para siswa dalam
eksperimennya diminta untuk mengeksplorasi kearifan lokal dan menerapkannya
dalam masyarakat multikultural.
Etnopedagogi Berbasis Kearifan Lokal
Cerlang budaya (local
genius) atau kearifan (wisdom)
diberi batasan sebagai berikut: “accumulated
philosophicor scientific learning; ability to discern inner qualities and
relationships; good sense; a wise attitude or course of action” (Webster’s New
Collegiate Dictionary 1986:1335). H.G. Quaritch Wales, dalam Ayatrohaedi, ed.(1986), dianggap sebagai
orang yang pertama kali menggunakan istilah local
genius. Buku ini membahas bagaimana cerlang budaya di berbagai ranah
seperti arkeologi, kehidupan beragama, akulturasi, bahasa, teknologi, dan
sistem sosial di Indonesia.
Berdasarkan batasan di atas, berikut ini adalah parameter kearifan:
1.
Kearifan lokal bersifat akumulatuf selama bertahun-tahun
dibangun oleh masyarakat lokal.
2.
Kearifan lokal merupakan mata batin untuk melihat dan
mencermati persoalan.
3.
Kearifan adalah kemampuan melihat esensi persoalan
sehingga kita bertindak bijak berdasarkan pemahaman utuh atas persoalan yang
dihadapinya.
4.
Kearifan lokal adalah tradisi turun-temurun.
Di man pun manusia dilahirkan dan dibesarkan, dia dianugerahi potensi lokal
untuk mengembangkan lingkungan sosial dan psikologisnya. Setiap suku bangsa di
seluruh Indonesiamemiliki perbedaan dalam keyakinan, nilai, cara pandang, dan
kepercayaan yang layak dihormati dan dikagumi. Karena itu, jika pendidikan
bertujuan mengubah cara berpikir, praktik pendidikan harus mempertimbangkan
aspek kebudayaan lokal.para pendidik harus memahami potensi lokal anak
didiksebelum memberdayakan mereka untuk mencapai tujuan pendidikan. Penelitian
Sutanto (2011) mengembangkan model pembelajaran biola sebagai alternatif bagi
model yang selama ini dikembangkan oleh Sekolah Musik Suzuki. Dia menggunakan
lagu-lagi Indonesia yang sangat dikenal oleh para siswa. Terbukti bahwa siswa
lebih termotivasi untuk belajar dan lebih cepat menguasai instrumen itu.
Setiap kebudayaan mengalami masa kejayaan pada masa lalu, tetapi hal itu
bukan untuk sekedar dikenang saat ini. Berdasarkan kearifan lokal, kita perlu
mengembangkan strategi kultural untuk mengembangkan kebudayaan demi kehidupan
yang lebih baik. Masyarakat Sunda, misalnya, memiliki postulat-postulat
kultural seperti hurip (penuh
semangat), waras (sehat), cageur (sehat secara fisik dan mental), bageur (baik), bener (benar), pinter
(pintar), ludeung (percaya diri), silih asah (belajar bersama), silih asuh ( saling menjaga), sineger tengah (moderat), singer, motékar (kreatif) dan rapékan (siap untuk melakukan segala
jenis pekerjaan) (Alwasilah:2006), dan postulat-postulat itu memiliki nilai
universal. Masyarakat Sunda juga percaya pada kemakmuran, kedamaian, kemuliaan,
dan kebebasan di dunia maupun di akhirat. Sementara itu, Banders (1889)
mengamati bahwa masyarakat Jawa mengembangkan 10 karakter dasar budayanya atau
kearifan lokalnya seperti wayang,gamelan,
tembang (musik), batik, bengkel
pandai besi, sistem keuangan, penggalian sumber daya laut, astronomi, irigasi
dan sistem pemerintahan (Atmojo, 1986).
Alat untuk mentransmisikan budaya adalah bahasa. Bahasa adalah media
transmisi yang merefleksikan budaya. Bahasa adalah hal penting dalam setiap
jenis pekerjaan. Di Eropa seni bahasa (language
arts) dijadikan bagian dari pendidikan liberal, karena dengan mempelajari
bahasa siswa diharapkan terbebas dari kebodohan. Pentingnya menggunakan bahasa
ibu, alih-alih menggunakan bahasa asing, sebagai sarana pendidikan, telah lama
disarankan oleh UNESCO karena alasan-alasan psikologis, sosial, dan pendidikan.
Etnologue (2005) mencatat 742 bahasa
daerah di Indonesia, dan tanpa memperhitungkan besar-kecilnya, semua itu
merupakan kearifan lokal yang berperan memelihara segala kearifan lokalnya.
Sepuluh bahasa terbesar adalah bahasa Aceh, Bali, Banjar, Batak, Bugis, Jawa,
Madura, Minang, Sasak, dan Sunda.
Etnopedagogi menentang pengingkaran keberagaman bahasa. Dari sudut pandang
etnopedagogi, pemertahanan bahasa daerah merupakan bagian dari pengakuan
terhadap “keragaman”, sementara bahasa nasional digunakan untuk
menyosialisasikan kebijakan lokal dan pemahaman antaretnis yang merupakan
strategi untuk mempromosikan “kesatuan”.
D.
Strategi Literasi
1. Membaca
Membaca
merupakan keterampilan dasar yang harus dimiliki setiap manusia. Oleh karena
keterampilan ini menjadi sarana untuk menangkap informasi yang ada di tulisan.
Keterampilan ini disebut sebagai keterampilan berbahasa reseptif, karena dengan
membaca seseorang akan memperoleh informasi, ilmu, pengetahuan, dan pengalaman-pengalaman
baru. Semua yang diperoleh dari kegiatan membaca akan memungkinkan orang
tersebut mampu mempertinggi daya pikirnya, mempertajam pandangannya, dan
memperluas wawasannya.
Pada
setiap manusia, kepemilikan keterampilan dasar ini diawali dari
keterampilan membaca permulaan dan
dilanjutkan membaca lanjut. Membaca
permulaan merupakan program pembelajaran yang diorientasikan kepada kemampuan
membaca permulaan di kelas-kelas rendah,
pada saat anak-anak mulai memasuki bangku sekolah. Pada tahap awal anak
memasuki bangku sekolah di kelas 1 sekolah dasar, membaca permulaan merupakan
menu utama. Kemampuan
membaca permulaan lebih diorientasikan pada kemampuan membaca tingkat dasar,
yakni kemampuan melek huruf. Maksudnya, anak-anak dapat mengubah dan melafalkan
lambang-lambang tertulis menjadi bunyi-bunyi bermakna. Pada tahap ini sangat
dimungkinkan anak-anak dapat melafalkan huruf-huruf yang dibacanya tanpa
diikuti oleh pemahaman terhadap makna lambang bunyi tersebut.
Kemampuan melek huruf ini selanjutnya dibina
dan ditingkatkan menuju pemilikan kemampuan membaca tingkat lanjut, yakni melek
wacana. Yang dimaksud dengan melek wacana adalah kemampuan membaca yang
sesungguhnya, yakni kemampuan mengubah lambang-lambang tulis menjadi
bunyi-bunyi bermakna disertai pemahaman akan makna lambang-lambang tersebut.
Dengan bekal kemampuan melek wacana inilah kemudian anak dipahamkan dengan
berbagai informasi dan pengetahuan dari berbagai media cetak yang dapat diakses
sendiri.
Di kelas
tinggi membaca dalam arti melek wacana
adalah membaca pemahaman. Membaca
pemahaman adalah kegiatan membaca yang dilakukan oleh sesorang untuk memahami isi bacaan secara
menyeluruh. Membaca pemahaman dilakukan dengan menghubungkan skemata atau
pengetahuan awal yang dimiliki pembaca dan pengetahuan baru yang diperoleh saat
membaca, sehingga proses pemahaman terbangun secara maksimal. Untuk dapat
memahami secara maksimal seorang guru harus memiliki strategi pemahaman.
Strategi
pemahaman merupakan tindakan berfikir yang digunakan pembaca untuk membantu
mencapai pemahaman. Pembaca menggunakan strategi ini untuk mempertajam
pemahaman mereka atas teks yang dibaca.
a. Strategi menghubungkan artinya pembaca
menghubungkan teks dengan dirinya, menghubungkan teks dengan dunia anak,
menghubungkan teks dengan pengalaman anak, dan menghubungkan teks dengan teks
lain. Misalnya sebelum anak membaca bacaan " Aku membantu ibu menyapu”,
pertanyaan yang dapat dipakai untuk menerapkan strategi menghubungkan teks
dengan diri pembaca adalah: apakah kamu pernah membantu ibu di rumah?,
Pekerjaan ibu apa sajakah yang kamu bantu? Mengapa kamu memilih menyapu?
b. Strategi memprediksi yaitu meminta pembaca
untuk memprediksi apa isi bacaan yang akan dibaca, kemudian membuktikan kebenaran prediksinya dengan
melakukan kegiatan membaca. Manfaat strategi ini adalah pembaca lebih
bersemangat membaca karena ingin menemukan jawaban prediksinya.
c. Strategi menanyakan, sebelum membaca guru memberikan pertanyaan-
pertanyaan seputar bacaan. Manfaat strategi ini adalah dengan pertanyaan tsb
dapat menuntun pembaca kearah isi bacaan, dapat membentuk pemahaman awal,
membuka jalan bagi anak yang masih bingung..
d. Strategi menyimpulkan, dimaksudkan agar
pembaca dapat mengutarakan isi bacaan dalam bentuk pernyataan yang ringkas.
Pertanyaan yang dapat diberikan guru dalam menerapkan strategi ini adalah
pertanyaan yang berurutan secara sistematis, tidak melompat – lompat.
Saudara
empat strategi tersebut hanya merupakan contoh yang diberikan, berikutnya
silakan Anda diskusikan di dalam kelompok strategi apa lagi yang dapat
diterapkan di dalam meningkatkan pemahaman membaca dan yang dapat meningkatkan
kegemaran membaca siswa SD. ( Mencakupi kelas rendah dan kelas tinggi)
2. Menulis
Kemampuan
menulis permulaan tidak jauh berbeda dengan kemampuan membaca permulaan. Pada
tingkat dasar, pembelajaran menulis lebih diorientasikan pada kemampuan yang
bersifat mekanik. Siswa dilatih untuk dapat menuliskan lambang-lambang tulis
yang jika dirangkaikan dalam sebuah struktur, lambang-lambang itu menjadi
bermakna.
Dengan
demikian, menulis permulaan tidak jauh berbeda dengan membaca permulaan. Pada
tingkat dasar/permulaan, menulis permulaan lebih diorientasikan pada kemampuan
yang bersifat mekanik. Anak-anak dilatih untuk dapat menuliskan (mirip dengan
melukis atau menggambar) lambang-lambang tulis yang jika dirangkaikan dalam
sebuah struktur, lambang-lambang itu menjadi bermakna. Kegiatan menulis permulaan dilakukan dengan berbagai
cara antara lain : menjiplak, menyalin, menulis tegak bersambung.
Setelah
anak-anak lancar menulis, selanjutnya dengan kemampuan dasar tersebut, secara
perlahan-lahan anak-anak di arahkan pada
kemampuan menuangkan gagasan, pikiran,
perasaan, ke dalam bentuk bahasa tulis melalui lambang-lambang tulis yang sudah
dikuasainya. Inilah kemampuan menulis yang sesungguhnya. Kegiatan menulis yang
seperti itu biasa disebut menulis kreatif, karena kegiatan menulis yang sesungguhnya
adalah memproduksi ide-ide untuk disampaikan kepada orang lain dalam bentuk
tulisan.
Menulis
kreatif ini bisa dilakukan dengan berbagai cara antara lain: a) menulis
berdasarkan pengalaman peserta didik, b) menulis berdasarkan pengamatan, c)
menulis berdasarkan imajinasi peserta didik, d) menulis berdasarkan hal-hal
yang disukai pserta didik, e) menulis berdasarkan apa yang dibaca.
a. Menulis berdasarkan pengalaman
peserta didik
Ide
menulis bagi peserta didik dapat dimulai dengan
menuliskan peristiwa-peristiwa
yang pernah dialami. Guru dapat meminta peserta didik untuk membuat
catatan harian, sehingga kebiasaan mencatat apa yang dialami setiap hari, dapat
mendorong peserta didik gemar menulis.
Tulisan,
teks, grafis, gambar dihubungkan dengan pengalaman fisik, dan emosional siswa.
Segala hal yang bersentuhan langsung
dengan emosi siswa (teks, bacaan, gambar dsb) dapat memberikan dampak
psikologis positif, antara lain siswa menjadi (a) tertarik, (b) asyik/senang,
dan (c) betah.
b. Menulis berdasarkan pengamatan
Hasil
pengamatan merupakan sumber inspirasi peserta didik untuk menulis. Peserta
didik diminta mengamati suatu objek kemudian dituangkan dalam bentuk tulisan.
Latihan menemukan fakta melalui pengamatan dapat memberikan ide-ide bagi peserta didik untuk
menuliskannya.
c. Menulis berdasarkan imajinasi
peserta didik
Peserta
didik memiliki imajinasi yang tidak terbatas, sehingga guru dapat memanfaatkan
imajinasi mereka untuk dituangkan ke dalam tulisan. Namun hal tersebut tidaklah
mudah, oleh karena itu guru dapat memulainya dengan memberikan media tulis yang
bervariasi. Media tulis ini dapat menjadi sumber ide yang dapat membantu
peserta didik menuangkan ide dalam tulisan yang kreatif.
d. Menulis berdasarkan hal-hal yang
disukai
Cara lain
menggiatkan peserta didik untuk menulis adalah dengan meminta mereka menulis
hal-hal yang disukai, bisa berwujud tulisan prosa bisa pula berwujud puisi.
e. Menulis berdasarkan apa yang
dibaca
Setelah
peserta didik melakukan kegiatan membaca, banyak ide yang dapat dituliskannya,
misalnya menuliskan puisi tentang tokoh dalam cerita yang di baca.
BAB III
KESIMPULAN
Makna literasi semakin berkembang dari waktu ke waktu. Perkembangan makna
tersebut mengikuti perkembangan zaman yang bergerak cepat. Perkembangan zaman
yang pesat jugalah yang membukakan tirai penutup literasi. Sekarang kita tahu
bahwa literasi tak melulu baca-tulis. Literasi adalah praktik kultural yang
berkaitan dengan persoalan sosial dan politik. Oleh karenanya para pakar pendidikan
dunia berpaling kepada definisi baru tentang literasi. Selain itu, dewasa ini
kata literasi banyak disandingkan dengan kata-kata lain, misalnya literasi
komputer, literasi virtual, literasi matematika dan sebagainya.
Perjalanan yang panjang mengulas tentang literasi yang berevolusi dan
bertrasnformasi maknanya. Sekarang ini, makna literasi menjadi lebih kompleks
dan luas. Selain itu, literasi juga ternyata sangat berpengaruh pada
perkembangan suatu bangsa. Tingginya literasi berbanding lurus dengan kemajuan
negaranya. Tingkat kemampuan literasi kita dapat diukur dengan tujuh dimensi
dalam literasi. Sehingga, kita dapat melihat apakah kita telah bagus disemua
bidangnya. Daya literasi individu berkontribusi pada daya literasi suatu
negara. Maka, setelah kita mengetahui sejauh mana kemampuan literasi kita, kita
dapat berbedah diri demi kemajuan bangsa ini. Sudah menjadi berita biasa bila
Indonesia menempati strata bawah dalam literasi dunia. Oleh sebab itu, rekayasa
literasi perlu dilakukan di Indonesia. Merekayasa pengajaran literasi menajdi
pilihan yang bijak karena hanya dalam dunia pendidikanlah pengejaran literasi
dapat ditanamkan pada siswa. Pendidikan merupakan ujung tombak kemajuan
literasi.
DAFTAR PUSTAKA
(Alwasilah, pokoknya rekayasa literasi, 2012)
http://dafrianzah.blogspot.co.id/2014/09/pengembangan-literasi-siswa-dalam.html