Rabu, 23 Desember 2015

MAKALAH PROSES, PERISTIWA, DAN STRATEGI LITERASI






Oleh:
Kelompok 2
                                                Amelia Nurrostika Sari                       145030130
                                                Arif Fauzan Rahman                           145030141
                                                Fiki Rachmawati                                 145030131
                                                Irma Nurismayanti                              145030144
                                                Nabillah zahra                                     145030107





BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Era informasi identik dengan era literasi yang menggambarkan kemampuan berinteraksi, berkomunikasi, bahkan beraktualisasi tidak cukup hanya dinyatakan secara lisan, namun juga secara tertulis. Sulzby (1986) menjelaskan, literasi adalah kemampuan berbahasa seseorang (menyimak, berbicara, membaca, dan menulis) untuk berkomunikasi dengan cara yang berbeda sesuai dengan tujuannya. Selanjutnya Sulzby juga menyatakan  literasi secara sempit, yaitu literasi sebagai kemampuan membaca dan menulis. Graff (2006) mengartikan literasi sebagai kemampuan untuk membaca dan menulis.
Literasi sangat penting bagi siswa karena keterampilan literasi akan berpengaruh terhadap keberhasilan belajar mereka dan kehidupannya. Keterampilan literasi yang baik akan membantu siswa dalam memahami teks lisan, tulisan, maupun gambar/visual, oleh karena itu pengembangan literasi siswa dalam pembelajaran selalu dilakukan secara terpadu antara kegiatan menyimak, berbicara, membaca dan menulis. Hal itu karena keempat keterampilan tersebut  memiliki hubungan yang sangat erat, meskipun masing-masing memiliki ciri tertentu. Karena adanya hubungan yang sangat erat ini, pembelajaran dalam satu jenis keterampilan dapat  meningkatkan keterampilan yang lain. Misalnya pembelajaran membaca, dapat juga meningkatkan keterampilan berbicara, menyimak dan  menulis. Setelah siswa membaca, tentunya guru akan memberikan pertanyaan tentang isi bacaan ( berbicara), dan siswa diminta menceriterakan kembali apa yang dibaca dengan bahasanya sendiri (berbicara), berikutnya siswa menuliskan apa yang diceritakan dengan tata tulis yang benar (menulis).


B. Rumusan Masalah
1)      Apakah definisi dari literasi?
2)      Bagaimanakah proses literasi?
3)      Seperti apakah peristiwa literasi?
4)      Bagaimanakah strategi literasi?
C. Tujuan
Adapun tujuan dari makalah Pengembangan Wawasan Literasi:
1)      Mampu menjelaskan definisi definisi menurut para ahli.
2)      Mampu menjelaskan proses literasi.
3)      Mampu menjelaskan peristiwa literasi.
4)      Mampu menjelaskan strategi literasi.


















BAB II
PEMBAHASAN MATERI

A.   Pengertian dan Landasan Literasi
1.Pengertian Literasi
Menurut Teale dan Sulzby (dalam Gipayana, 2010:9), konsep pengajaran literasi diartikan sebagai kemampuan membaca dan menulis. Seseorang disebut literate apabila ia memiliki pengetahuan yang hakiki untuk digunakan dalam setiap aktivitas yang menuntut fungsi literasi secara efektif dalam masyarakat dan pengetahuan yang dicapainya dengan membaca, menulis, dan arithmetic memungkinkan untuk dimanfaatkan bagi dirinya sendiri dan perkembangan masyarakat (Gipayana, 2010: 9-10).

2.   Landasan Literasi
Ada dua hal yang menjadi rujukan penting dalam konsep pengajaran literasi, yaitu pengajaran literasi yang berdimensi praktik sosial dan pengajaran literasi yang berdimensi proses sosial. Berbagai teori muncul dari para ahli mengenai perubahan pandangan terhadap pemahaman yang salah satunya dikenal dengan teori Rosenbalt. Menurut Clay, 1985; Teale &Sulzby, 1986, para peneliti mulai mengarahkan guru-guru untuk menyajikan pengajaran membaca pemahaman pada perspektif yang lebih luas, yakni pengajaran literasi (dalam Gipayana, 2010:18). Perspektif itu sendiri berpijak pada teori perkembangan literasi ‘emergent literacy’, pemerolehan bahasa ‘language acquisition’, dan skemata ‘schema’.

a.    Teori perkembangan Literasi
Teori perkembangan literasi merupakan suatu gagasan yang menyebutkan bahwa kemampuan membaca dan menulis berkembang secara bersamaan dan bersifat interaktif (Stickland, 1990; Teale dan Sulzby, 1986 dalam Gipayana,2010: 18). Berdasarkan teori ini, dalam konsep pengajaran literasi elemen-elemen proses komunikasi tidak lagi diajarkan secara diskrit.

b.   Teori pemerolehan Bahasa
Salah satu teori menyebutkan bahwa proses pemerolehan bahasa berlangsung terus menerus melalui interaksi dan pengalaman sosial (Cook-Gumprez, 1986; Wells, 1990 dalam Gipayana.2010:19). Teori-teori pemerolehan bahasa memberikan pemahaman tentang bagaimana anak-anak memperoleh bahasanya. Menurut Cooper, 1993:10 dalam Gipayana, 2010: 20) secara mendasar dapat disimpulkan bahwa anak-anak memperoleh bahasa:
1)   Pada waktu mereka memiliki keperluan yang berarti dan nyata
2)   Melalui interaksi dengan teman sebaya dan orang dewasa
3)   Dengan menggunakan perkiraan bahasa secara nyata
4)   Dengan kecepatan yang berbeda-beda meskipun mereka berangkat dari tahap perkembangan yang sama.
Pemahaman-pemahaman tersebut menjadi pijakan yang kokoh untuk pengembangan program pengajaran literasi.

c.    Teori Skemata
Teori skemata memberikan sumbangan yang sangat berarti terhadap konsep pengajaran literasi. Teori ini menjelaskan bagaimana struktur-struktur itu dibentuk dan dihubungkan dengan struktur-struktur yang lainnya (Gipayana, 2010:21). Skemata adalah struktur-struktur yang mewakili konsep-konsep umum yang terekam dalam memori (Rumelhart, 1980 dalam Gipayana, 2010:21). Skemata akan terus berkembang mengonstruksi pengetahuan baru dengan pengetahuan menghubungkan skemata yang ada dengan informasi baru dalam teks. Walaupun skema yang ada tidak siap untuk suatu topik atau konsep, skemata baru akan dapat terbentuk apabila informasi yang dipeoleh mencukupi.




B.   Proses Literasi
            Kata literasi tentu sudah tidak asing bagi telinga kita. Kata tersebut bahkan menjadi kata yang sering terucap. Dahulu kita hanya mengetahui bahwa pengertian literasi itu hanya sekedar kemampuan membaca dan menulis (7th Edition Oxford Advanced Learner’s Dictionary, 2005:898). Walaupun definisi (lama) literasi adalah kemampuan membaca dan menulis, namun istilah literasi jarang dipakai dalam konteks pembelajaran persekolahan di Indonesia. Hal ini dapat terlihat dari tidak adanya literasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Persekolahan di Indonesia nampaknya lebih senang menggunakan istilah pengajaran bahasa atau pelajaran bahasa daripada menggunakan istilah literasi. Pada masa itu, membaca dan menulis mungkin dianggap cukup sebagai pendidikan dasar bagi manusia guna menghadapi tantangan zaman dan kerasnya kehidupan.
            Makna literasi semakin berkembang dari waktu ke waktu. Perkembangan makna tersebut mengikuti perkembangan zaman yang bergerak cepat. Perkembangan zaman yang pesat jugalah yang membukakan tirai penutup literasi. Sekarang kita tahu bahwa literasi tak melulu baca-tulis. Literasi adalah praktik kultural yang berkaitan dengan persoalan sosial dan politik. Oleh karenanya para pakar pendidikan dunia berpaling kepada definisi baru tentang literasi. Selain itu, dewasa ini kata literasi banyak disandingkan dengan kata-kata lain, misalnya literasi komputer, literasi virtual, literasi matematika dan sebagainya. Hal tersebut merupakan transformasi makna literasi karena perkembangan zaman. Oleh sebab itu, Freebody dan Luke menawarkan model literasi sebagai berikut:
1.      Memahami konteks dalam teks: mengenali dan menggunakan fitur seperti alfabet, suara, ejaan, konvensi dan pola teks.
2.      Terlibat dalam memaknai teks: memahami dan menyusun teks tertulis dan teks virtual dan lisan yang berati dari budaya tertentu, lembaga, keluarga, masyarakat, negara-negara dan lain-lain. Menggambarkan skema yang ada.
  1. Menggunakan teks secara fungsional.
  2. Melakukan analisis dan mentransformasikan teks secara kritis: memahami dan bertindak atas pengetahuan bahwa teks-teks tidak netral. Teks mewakili pandangan tertentu, diam, mempengaruhi ide-ide orang. Desain teks dan wacana dapat dikritik dan didesain ulang dengan cara baru dan hibrida.
Keempat peran literasi ini dapat diringkas kedalam lima verba: memahami, melibati, menggunakan, menganalisis dan mentransformasikan teks (Rekayasa Literasi : 160).
            Pesatnya perkembangan zaman membuat definisi literasi berevolusi. Makna literasi yang pada awalnya hanya baca-tulis berkembang menjadi lebih luas dan lebih kompleks. Makna literasi tak melulu soal baca-tulis, namun walaupun demikian, literasi masih memiliki kaitan dengan kebahasaan. Berpikir kritis, dapat menghitung, memecahkan masalah, cara untuk mencapai tujuan, mengembangkan ilmu pengetahuan dan potensi seseorang merupakan definisi baru mengenai literasi. Perubahan yang sangat signifikan memang. Dari definisi yang hanya sekedar baca-tulis bertransformasi menjadi definisi yang kompleks. Berikut meruapakan kajian disiplin yang memiliki tujuh dimensi yang berkaitan:
  1. Dimensi Geografis (lokal, nasional, regional, dan internasional): Bergantung pada tingkat pendidikan dan jejaring sosial dan vokasionalnya (kecakapan kejuruan).
  2. Dimensi Bidang (pendidikan, komunikasi, administrasi, hiburan, militer, dsb): Literasi suatu bangsa tampak dalam dimensi ini. Pendidikan yang berkualitas tinggi menghasilkan literasi yang berkualitas tinggi pula. Hal ini karena bidang pendidikan merupakan ujung tombak kebangkitan suatu bangsa.
  3. Dimensi Keterampilan (membaca, menulis, menghitung, berbicara): Literasi seseorang tampak atau tercermin dari dimensi ini. Semua sarjana mampu membaca, akan tetapi tidak semua sarjana mampu menulis. Oleh sebab itu, keterampilan sangat diperlukan. Selain itu, tidak cukup dengan mengandalkan literasi saja (dalam hal ini membaca dan menulis) namun harus juga memiliki kemampuan numerasi (keterampilan menghitung)
  4. Dimensi Fungsi (memecahkan persoalan, mendapatkan pekerjaan, mencapai tujuan, mengembangkan pengetahuan, mengembangkan potensi diri): Orang yang literat karena pendidikannya mampu memecahkan masalah dan mengatasi semua tentang kehidupan yang menghampirinya.
  5. Dimensi Media (teks, cetak, visual, digital): Menjadi seorang literat zaman sekarang orang harus mengandalkan kemampuan membaca dan menulis teks cetak, visual dan digital. Perkembangan IT sangat penting dan berpengaruh banyak terhadap gaya berliterasi.
  6. Dimensi Jumlah (satu, dua, beberapa): Jumlah dapat merujuk pada banayak hal, misalnya bahasa, variasi bahasa, peristiwa tutur, bidang ilmu dan media. Literasi seperti halnya kemampuan berkomunikasi, bersifat relatif.
  7. Dimensi Bahasa (etnis, lokal, nasional, regional, internasional): Ada literasi yang singular dan ada yang plural.
Selain tujuh dimensi literasi di atas, ada 10 gagasan kunci tentang literasi yang menunjukkan perubahan paradigma literasi karena perubahan zaman dan perkembangan ilmu pengetahuan, yaitu:
1.       Ketertiban lembaga-lembaga sosial: Lembaga-lembaga menjalankan perannya dengan fasilitas bahasa sehingga muncul bahasa birokrat atau politik.
2.       Tingkat kefasihan relatif: Setiap literasi memerlukan kefasihan berbahasa dan literasi yang berbeda, tergantung situasinya.
3.       Pengembangan potensi diri dan pengetahuan: Pada tahap tinggi literasi membekali mahasiswa kemampuan memproduksi dan memproduksi ilmu pengetahuan.
4.       Standar dunia
5.       Warga masyarakat demokratis: Media adalah salah satu pilar demokratis. Pendidikan literasi harus mendukung terciptanya demokratisasi bangsa.
6.       Keragaman lokal
7.       Hubungan global: Literasi tingkat ini bergantung pada dua hal, yaitu penguasaaan teknologi informasi dan penguasaan konsep atau pengetahuan yang tinggi.
8.       Kewarganegaraan yang efektif: Yaitu warga negara yang mampu mengubah diri, menggali potensi diri, serta berkontribusi bagi keluarga, lingkungan dan negaranya. Warga negara yang efektif mengetahui hak dan kewajibannya (citizenship literacy).
9.       Berbahasa Inggris ragam dunia
10.   Kemampuan berpikir kritis: Literasi bukan sekedar mampu membaca dan menulis, melainkan juga menggunakan bahasa secara fasih, efektif dan kritis.
11.   Masyarakat semiotik: Budaya adalah sistem tanda, oleh karenanya memaknai tanda terlebih dahulu harus menguasai literasi semiotik.
Tanpa arah semua menjadi kacau balau dan tak menentu. Di kehidupan ini kita harus punya petunjuk arah guna menjauhkan kita dari tersesat dalam peliknya kehidupan. Petunjuk arah dalam kehidupan adalah prinsip. Sebagai petunjuk arah kita dapat berpegang pada prinsip tersebut. Sama seperti kehiduapan, pendidikan bahasa berbasis literasi pun mempunyai prinsip. Berikut adalah tujuh prinspi yang harus diterapkan dalam pendidikan bahasa berbasis literasi:
  1. Literasi adalah kemampuan hidup (life skill).
  2. Literasi mencakup kemampuan reseptif dan produktif dalam upaya berwacana.
  3. Literasi adalah kemampuan memecahkan masalah.
  4. Literasi adalah refleksi penguasaan dan apresiasi budaya.
  5. Literasi adalah kegiatan refleksi (diri).
  6. Literasi adalah kolaborasi.
  7. Literasi adalah kegiatan melakukan interpretasi.
Ada tiga paradigma pembelajaran literasi (Kucer: 2000), yakni:
Decoding: siswa membangun literasi dengan diajari terlebih dahulu tentang literasi, yakni bagaimana memaknai kode bahasa (decoding). Siswa belajar secara deduktif. Dalam paradigma ini berlaku rumu→ belajar melalui literasi
Skill (keterampilan): siswa membangun literasi dengan diajari terlebih dahulu dalam s:
Perkembangan literasi = belajar tentang lit erasi → belajar literasi pengetahuan tentang literasi, yakni cara memaknai bentuk-bentuk bahasa seperti morfem dan kosa kata. Siswa belajar secara deduktif. Berlaku rumus:
Perkembangan literasi = belajar tentang literasi → belajar literasi → belajar melalui literasi
Whole Language (bahasa secara utuh): siswa pengumpulkan data, membuat hipotesis, menguji hipotesis dan mengubah hipotesis terus menerus. Dengan sendirinya keterampilan berbahasa ditemukan. Siswa belajar secara induktif. Berlaku rumus:
Perkembangan literasi adalah belajar melalui literasi → belajar literasi → belajar tentang literasi
Perjalanan yang panjang mengulas tentang literasi yang berevolusi dan bertrasnformasi maknanya. Sekarang ini, makna literasi menjadi lebih kompleks dan luas. Selain itu, literasi juga ternyata sangat berpengaruh pada perkembangan suatu bangsa. Tingginya literasi berbanding lurus dengan kemajuan negaranya. Tingkat kemampuan literasi kita dapat diukur dengan tujuh dimensi dalam literasi. Sehingga, kita dapat melihat apakah kita telah bagus disemua bidangnya. Daya literasi individu berkontribusi pada daya literasi suatu negara. Maka, setelah kita mengetahui sejauh mana kemampuan literasi kita, kita dapat berbedah diri demi kemajuan bangsa ini. Sudah menjadi berita biasa bila Indonesia menempati strats bawah dalam literasi dunia. Oleh sebab itu, rekayasa literasi perlu dilakukan di Indonesia. Merekayasa pengajaran literasi menajdi pilihan yang bijak karena hanya dalam dunia pendidikanlah pengejaran literasi dapat ditanamkan pada siswa. Pendidikan merupakan ujung tombak kemajuan literasi.


C.    Peristiwa Literasi
Indonesia adalah negara multikulturalisme yang memiliki lebih dari 17.000 pulau dan berpenduduk lebih dari 237 juta orang yang berasal dari 200 lebih suku bangsa. Kenyataan tersebut menempatkan Indonesia di urutan negara yang populasinya tertinggi. Motto “bhineka tunggal ika” atau Persatuan dalam Keragaman merupakan dua sisi koin untuk menggambarkan negeri ini. Dalam wacana politik, motto itu dimaknai secara tidak proporsional dengan mengutamakan kesatuan dan mengabaikan keberagaman. Kita tahu, pada masa silam banyak upaya untuk mengembangkan bahasa daerah, kesenian daerah, dan hal yang berkaitan dengan kesukubangsaan dianggap membahayakan dan mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. Pada 1950-an orang yang aktif dalam kegiatan kebudayaan atau kesenian daerah tak mustahil akan dituduh separatis, provinsialis, federalis atau berbagai tuduhan negatif lainnya (Rosidi:2012). Akibatnya, masyarakat kurang peduli terhadap budaya etnisnya, apalagi terhadap etnis lain.
Multikulturalisme
Secar harfiah, kombinasi multi (banyak, berbagai, plural) plus kultur (budaya) mudah dipahami,yakni hal-ihwal adanya berbagai budaya. Makna kultur sulit disederhanakan sebab istilah ini merujuk ke berbagai hal menyangkut manusia sebagai makhluk berbudaya. Isme berarti faham, maka multikulturalisme bisa berarti paham, aliran pemikiran, teori, atau sekedar sudut pandang. Inilah pengertian gelombang pertama mengenai multikulturalisme yang dicirikan oleh dua hal: (1) kebutuhan terhadap pengakuan atas keberagaman budaya dan (2) legitimasi keberagaman budaya atau pluralisme budaya. Pada gelombang kedua, multikulturalisme merujuk pada sejumlah pemikiran, yaitu: (1) studi kultural (cultural studies),(2) pascakolonialisme, (3) globalisasi, (4) feminisme, (5) teori ekonomi politik neo-Marxisme, dan (6) pascakulturalisme. Namun, inti dari semua ini adalah tiga tantangan besar yang mesti dihadapi, yaitu hegemoni Barat, esensialisasi budaya, dan proses globalisasi (Tilaar,2004).
Esensialisasi budaya dalam perspektif multikulturalisme mengikuti tujuh prinsip bebagai berikut:
1.       Kebudayaan selalu dinamis dalam kubangan sosial yang terus berubah. Dalam bejana multikultural Indonesia, praktik-praktik kebudayaan selalu memunculkan tafsir baru. Tafsir baru inilah esensi kritik terhadap budaya sendiri, dan hal ini hanya mungkin bisa terjadi dialog kebudayaan secara cerdas dan terus-menerus.
2.       Praktik kebudayaan mesti dikaitkan dengan kekuasaan.
3.       Kebudayaan merupakan objek kajian dan lokasi tindakan berpolitik.
4.       Pentingnya pendekatan lintas disiplin dan studi banding dalam kritik kebudayaan. Dengan demikian, wacana kebudayaan harus terbuka bagi siapa pun yang ingin mempelajarinya.
5.       Pentingnya rekonstruksi dalam kritik kebudayaan.
Paham multikulturalisme bukannya tanpa kritik. Multikulturalisme yang radikal cenderung menekankan perbedaan kelompok dengan melupakan persamaan antarsesama. Seperti yang disimpulkan oleh Arifin (2011), dampak negatif multikulturalisme radikal adalah:
1.       Merusak kohesi spasial, menghilangkan identitas nasional, dan menggerus nilai-nilai kewargaan.
2.       Mencegah integrasi minoritas dan menciptakan kantung-kantung kelompok militan dan gerakan separatis.
3.       Menyebabkan penindasan oleh minoritas tertentu terhadap minoritas lainnya.
4.       Menimbulkan bahaya bagi perempuan.
5.       Cenderung mengekang budaya.
Banyaknya konflik antarsuku maupun antar umat beragama di Indonesia selama ini membuktikan bahwa pendidikan nasional gagal mendidik warga negara untuk hidup baik dan harmonis dalam negara Indonesia yang multikultural. Gerakan-gerakan separatis yang mengancam persatuan nasional harus diselesaikan dengan pendekatan pendidikan dan kebudayaan, bukan dengan pendekatan politik, apalagi militer. Sistem pendidikan nasional harus ditata ulang agar menumbuhkan kembali komitmen pemerintah dan bangsa terhadap pentingnya keragaman dan persatuan. Mustahil membangun Indonesia tanpa mengenal dan menghargai perbedaan. Suara hati setiap suku bangsa di negara ini harus didengar untuk mengembangkan toleransi, yang berarti menyadari betul adanya perbedaan keyakinan, nilai hidup, dan cara pandang terhadap dunia.
Berdasarkan Undang-Undang No. 20 Tahun 2003, pendidikan merupakan usaha sadar dan sistematis untuk menciptakan lingkungan pembelajaran dan proses pendidikan, sehingga siswa dapat mengembangkan potensinya, termasuk pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, perilaku baik, dan keterampilan yang penting bagi dirinya, masyarakat, dan negara. Undang-Undang juga menetapka bahwa fungsi pendidikan di antaranya adalah mengembangkan kompetensi, karakter, dan peradaban. Perangkat hukum dan perundang-undangan telah dirumuskan dengan sempurna, tapi dalam pelaksanaannya sering menghadapi kendala.
Sebagai negara yang multikultural, Indonesia seharusnya menerapkan pendidikan multikultural, yang berfungsi antara lain untuk mengubah cara berpikir dan menilai kultur orang lain, dan untuk mengenal identitas diri sendiri dan identitas orang lain. Sayang sekali, di Indonesia belum ada model pendidikan multikultural. Seperti yang disarankan oleh Tilaar: “education, we have to study various aspects of is philoshophy, methodology, its content and its challenges in its performance” (Tilaar 2004:361).
Beliau mengidentifikasi lima program untuk mengembangkan program multikultural, yakni lembaga pendidikan sebagai pusatnya, pendidikan kewarganegaraan (civics education), kurikulum multikultural, kebijakan perbukuan, dan pendidikan guru. Kutipan di atas menyiratkan bahwa:
1.       Pendidikan nasional belum menerapkan pendidikan multikultural.
2.       Pendidikan multikultural memiliki filsafat, metodologi, dan substansinya sendiri.
Ambil contohpenelitian Zuriah (2011) yang mengembangkan kurikulum pendidikan multikultural berbasis kearifan lokal. Model pembelajaran ini terbukti lebih efektif dalam peningkatan kompetensi siswa seperti toleransi dan kemampuan menghargai orang lain jika dibandingkan dengan model pembelajaran konvensional. Beliau antar lain menggunakan sejumlah ungkapan tradisional Jawa, seperti sing gedhe ora kena gumedhe, sing cilik ora kena mitek (yang besar jangan sombong yang kecil jangan putus asa), sayuk rukun saiyeg saeka praya (bersatu untuk mencapai tujuan bersama), gotong royong dan sebagainya. Para siswa dalam eksperimennya diminta untuk mengeksplorasi kearifan lokal dan menerapkannya dalam masyarakat multikultural.
Etnopedagogi Berbasis Kearifan Lokal
Cerlang budaya (local genius) atau kearifan (wisdom) diberi batasan sebagai berikut: “accumulated philosophicor scientific learning; ability to discern inner qualities and relationships; good sense; a wise attitude or course of action” (Webster’s New Collegiate Dictionary 1986:1335). H.G. Quaritch Wales, dalam Ayatrohaedi, ed.(1986), dianggap sebagai orang yang pertama kali menggunakan istilah local genius. Buku ini membahas bagaimana cerlang budaya di berbagai ranah seperti arkeologi, kehidupan beragama, akulturasi, bahasa, teknologi, dan sistem sosial di Indonesia.
Berdasarkan batasan di atas, berikut ini adalah parameter kearifan:
1.       Kearifan lokal bersifat akumulatuf selama bertahun-tahun dibangun oleh masyarakat lokal.
2.       Kearifan lokal merupakan mata batin untuk melihat dan mencermati persoalan.
3.       Kearifan adalah kemampuan melihat esensi persoalan sehingga kita bertindak bijak berdasarkan pemahaman utuh atas persoalan yang dihadapinya.
4.       Kearifan lokal adalah tradisi turun-temurun.
Di man pun manusia dilahirkan dan dibesarkan, dia dianugerahi potensi lokal untuk mengembangkan lingkungan sosial dan psikologisnya. Setiap suku bangsa di seluruh Indonesiamemiliki perbedaan dalam keyakinan, nilai, cara pandang, dan kepercayaan yang layak dihormati dan dikagumi. Karena itu, jika pendidikan bertujuan mengubah cara berpikir, praktik pendidikan harus mempertimbangkan aspek kebudayaan lokal.para pendidik harus memahami potensi lokal anak didiksebelum memberdayakan mereka untuk mencapai tujuan pendidikan. Penelitian Sutanto (2011) mengembangkan model pembelajaran biola sebagai alternatif bagi model yang selama ini dikembangkan oleh Sekolah Musik Suzuki. Dia menggunakan lagu-lagi Indonesia yang sangat dikenal oleh para siswa. Terbukti bahwa siswa lebih termotivasi untuk belajar dan lebih cepat menguasai instrumen itu.
Setiap kebudayaan mengalami masa kejayaan pada masa lalu, tetapi hal itu bukan untuk sekedar dikenang saat ini. Berdasarkan kearifan lokal, kita perlu mengembangkan strategi kultural untuk mengembangkan kebudayaan demi kehidupan yang lebih baik. Masyarakat Sunda, misalnya, memiliki postulat-postulat kultural seperti hurip (penuh semangat), waras (sehat), cageur  (sehat secara fisik dan mental), bageur (baik), bener (benar), pinter (pintar), ludeung (percaya diri), silih asah (belajar bersama), silih asuh ( saling menjaga), sineger tengah (moderat), singer, motékar (kreatif) dan rapékan (siap untuk melakukan segala jenis pekerjaan) (Alwasilah:2006), dan postulat-postulat itu memiliki nilai universal. Masyarakat Sunda juga percaya pada kemakmuran, kedamaian, kemuliaan, dan kebebasan di dunia maupun di akhirat. Sementara itu, Banders (1889) mengamati bahwa masyarakat Jawa mengembangkan 10 karakter dasar budayanya atau kearifan lokalnya seperti wayang,gamelan, tembang (musik), batik, bengkel pandai besi, sistem keuangan, penggalian sumber daya laut, astronomi, irigasi dan sistem pemerintahan (Atmojo, 1986).
Alat untuk mentransmisikan budaya adalah bahasa. Bahasa adalah media transmisi yang merefleksikan budaya. Bahasa adalah hal penting dalam setiap jenis pekerjaan. Di Eropa seni bahasa (language arts) dijadikan bagian dari pendidikan liberal, karena dengan mempelajari bahasa siswa diharapkan terbebas dari kebodohan. Pentingnya menggunakan bahasa ibu, alih-alih menggunakan bahasa asing, sebagai sarana pendidikan, telah lama disarankan oleh UNESCO karena alasan-alasan psikologis, sosial, dan pendidikan. Etnologue (2005) mencatat 742 bahasa daerah di Indonesia, dan tanpa memperhitungkan besar-kecilnya, semua itu merupakan kearifan lokal yang berperan memelihara segala kearifan lokalnya. Sepuluh bahasa terbesar adalah bahasa Aceh, Bali, Banjar, Batak, Bugis, Jawa, Madura, Minang, Sasak, dan Sunda.
Etnopedagogi menentang pengingkaran keberagaman bahasa. Dari sudut pandang etnopedagogi, pemertahanan bahasa daerah merupakan bagian dari pengakuan terhadap “keragaman”, sementara bahasa nasional digunakan untuk menyosialisasikan kebijakan lokal dan pemahaman antaretnis yang merupakan strategi untuk mempromosikan “kesatuan”.

D.    Strategi Literasi
1.    Membaca
Membaca merupakan keterampilan dasar yang harus dimiliki setiap manusia. Oleh karena keterampilan ini menjadi sarana untuk menangkap informasi yang ada di tulisan. Keterampilan ini disebut sebagai keterampilan berbahasa reseptif, karena dengan membaca seseorang akan memperoleh informasi, ilmu, pengetahuan, dan pengalaman-pengalaman baru. Semua yang diperoleh dari kegiatan membaca akan memungkinkan orang tersebut mampu mempertinggi daya pikirnya, mempertajam pandangannya, dan memperluas wawasannya.
Pada setiap manusia, kepemilikan keterampilan dasar ini diawali dari keterampilan  membaca permulaan dan dilanjutkan membaca lanjut. Membaca permulaan merupakan program pembelajaran yang diorientasikan kepada kemampuan membaca permulaan di kelas-kelas rendah,  pada saat anak-anak mulai memasuki bangku sekolah. Pada tahap awal anak memasuki bangku sekolah di kelas 1 sekolah dasar, membaca permulaan merupakan menu utama. Kemampuan membaca permulaan lebih diorientasikan pada kemampuan membaca tingkat dasar, yakni kemampuan melek huruf. Maksudnya, anak-anak dapat mengubah dan melafalkan lambang-lambang tertulis menjadi bunyi-bunyi bermakna. Pada tahap ini sangat dimungkinkan anak-anak dapat melafalkan huruf-huruf yang dibacanya tanpa diikuti oleh pemahaman terhadap makna lambang bunyi tersebut.
 Kemampuan melek huruf ini selanjutnya dibina dan ditingkatkan menuju pemilikan kemampuan membaca tingkat lanjut, yakni melek wacana. Yang dimaksud dengan melek wacana adalah kemampuan membaca yang sesungguhnya, yakni kemampuan mengubah lambang-lambang tulis menjadi bunyi-bunyi bermakna disertai pemahaman akan makna lambang-lambang tersebut. Dengan bekal kemampuan melek wacana inilah kemudian anak dipahamkan dengan berbagai informasi dan pengetahuan dari berbagai media cetak yang dapat diakses sendiri.
Di kelas tinggi membaca dalam  arti melek wacana adalah membaca pemahaman.  Membaca pemahaman adalah kegiatan membaca yang dilakukan oleh  sesorang untuk memahami isi bacaan secara menyeluruh. Membaca pemahaman dilakukan dengan menghubungkan skemata atau pengetahuan awal yang dimiliki pembaca dan pengetahuan baru yang diperoleh saat membaca, sehingga proses pemahaman terbangun secara maksimal. Untuk dapat memahami secara maksimal seorang guru harus memiliki strategi pemahaman.
Strategi pemahaman merupakan tindakan berfikir yang digunakan pembaca untuk membantu mencapai pemahaman. Pembaca menggunakan strategi ini untuk mempertajam pemahaman mereka atas teks yang dibaca.
a.  Strategi menghubungkan artinya pembaca menghubungkan teks dengan dirinya, menghubungkan teks dengan dunia anak, menghubungkan teks dengan pengalaman anak, dan menghubungkan teks dengan teks lain. Misalnya sebelum anak membaca bacaan " Aku membantu ibu menyapu”, pertanyaan yang dapat dipakai untuk menerapkan strategi menghubungkan teks dengan diri pembaca adalah: apakah kamu pernah membantu ibu di rumah?, Pekerjaan ibu apa sajakah yang kamu bantu? Mengapa kamu memilih menyapu?
b.  Strategi memprediksi yaitu meminta pembaca untuk memprediksi apa isi bacaan yang akan dibaca, kemudian  membuktikan kebenaran prediksinya dengan melakukan kegiatan membaca. Manfaat strategi ini adalah pembaca lebih bersemangat membaca karena ingin menemukan jawaban prediksinya.
c.  Strategi menanyakan,  sebelum membaca guru memberikan pertanyaan- pertanyaan seputar bacaan. Manfaat strategi ini adalah dengan pertanyaan tsb dapat menuntun pembaca kearah isi bacaan, dapat membentuk pemahaman awal, membuka jalan bagi anak yang masih bingung..
d.  Strategi menyimpulkan, dimaksudkan agar pembaca dapat mengutarakan isi bacaan dalam bentuk pernyataan yang ringkas. Pertanyaan yang dapat diberikan guru dalam menerapkan strategi ini adalah pertanyaan yang berurutan secara sistematis, tidak melompat – lompat.
Saudara empat strategi tersebut hanya merupakan contoh yang diberikan, berikutnya silakan Anda diskusikan di dalam kelompok strategi apa lagi yang dapat diterapkan di dalam meningkatkan pemahaman membaca dan yang dapat meningkatkan kegemaran membaca siswa SD. ( Mencakupi kelas rendah dan kelas tinggi)

2.    Menulis
Kemampuan menulis permulaan tidak jauh berbeda dengan kemampuan membaca permulaan. Pada tingkat dasar, pembelajaran menulis lebih diorientasikan pada kemampuan yang bersifat mekanik. Siswa dilatih untuk dapat menuliskan lambang-lambang tulis yang jika dirangkaikan dalam sebuah struktur, lambang-lambang itu menjadi bermakna.
Dengan demikian, menulis permulaan tidak jauh berbeda dengan membaca permulaan. Pada tingkat dasar/permulaan, menulis permulaan lebih diorientasikan pada kemampuan yang bersifat mekanik. Anak-anak dilatih untuk dapat menuliskan (mirip dengan melukis atau menggambar) lambang-lambang tulis yang jika dirangkaikan dalam sebuah struktur, lambang-lambang itu menjadi bermakna. Kegiatan  menulis permulaan dilakukan dengan berbagai cara antara lain : menjiplak, menyalin, menulis tegak bersambung.
Setelah anak-anak lancar menulis, selanjutnya dengan kemampuan dasar tersebut, secara perlahan-lahan anak-anak di arahkan  pada kemampuan menuangkan  gagasan, pikiran, perasaan, ke dalam bentuk bahasa tulis melalui lambang-lambang tulis yang sudah dikuasainya. Inilah kemampuan menulis yang sesungguhnya. Kegiatan menulis yang seperti itu biasa disebut menulis kreatif, karena kegiatan menulis yang sesungguhnya adalah memproduksi ide-ide untuk disampaikan kepada orang lain dalam bentuk tulisan.
Menulis kreatif ini bisa dilakukan dengan berbagai cara antara lain: a) menulis berdasarkan pengalaman peserta didik, b) menulis berdasarkan pengamatan, c) menulis berdasarkan imajinasi peserta didik, d) menulis berdasarkan hal-hal yang disukai pserta didik, e) menulis berdasarkan apa yang dibaca.
a.  Menulis berdasarkan pengalaman peserta didik
Ide menulis bagi peserta didik dapat dimulai dengan  menuliskan peristiwa-peristiwa   yang pernah dialami. Guru dapat meminta peserta didik untuk membuat catatan harian, sehingga kebiasaan mencatat apa yang dialami setiap hari, dapat mendorong peserta didik gemar menulis.
Tulisan, teks, grafis, gambar dihubungkan dengan pengalaman fisik, dan emosional siswa. Segala hal  yang bersentuhan langsung dengan emosi siswa (teks, bacaan, gambar dsb) dapat memberikan dampak psikologis positif, antara lain siswa menjadi (a) tertarik, (b) asyik/senang, dan (c) betah.
b.  Menulis berdasarkan pengamatan
Hasil pengamatan merupakan sumber inspirasi peserta didik untuk menulis. Peserta didik diminta mengamati suatu objek kemudian dituangkan dalam bentuk tulisan. Latihan menemukan fakta melalui pengamatan dapat memberikan  ide-ide bagi peserta didik untuk menuliskannya.
c.  Menulis berdasarkan imajinasi peserta didik
Peserta didik memiliki imajinasi yang tidak terbatas, sehingga guru dapat memanfaatkan imajinasi mereka untuk dituangkan ke dalam tulisan. Namun hal tersebut tidaklah mudah, oleh karena itu guru dapat memulainya dengan memberikan media tulis yang bervariasi. Media tulis ini dapat menjadi sumber ide yang dapat membantu peserta didik menuangkan ide dalam tulisan yang kreatif.
d.  Menulis berdasarkan hal-hal yang disukai
Cara lain menggiatkan peserta didik untuk menulis adalah dengan meminta mereka menulis hal-hal yang disukai, bisa berwujud tulisan prosa bisa pula berwujud puisi.
e.  Menulis berdasarkan apa yang dibaca
Setelah peserta didik melakukan kegiatan membaca, banyak ide yang dapat dituliskannya, misalnya menuliskan puisi tentang tokoh dalam cerita yang di baca.

















BAB III
KESIMPULAN
Makna literasi semakin berkembang dari waktu ke waktu. Perkembangan makna tersebut mengikuti perkembangan zaman yang bergerak cepat. Perkembangan zaman yang pesat jugalah yang membukakan tirai penutup literasi. Sekarang kita tahu bahwa literasi tak melulu baca-tulis. Literasi adalah praktik kultural yang berkaitan dengan persoalan sosial dan politik. Oleh karenanya para pakar pendidikan dunia berpaling kepada definisi baru tentang literasi. Selain itu, dewasa ini kata literasi banyak disandingkan dengan kata-kata lain, misalnya literasi komputer, literasi virtual, literasi matematika dan sebagainya.
Perjalanan yang panjang mengulas tentang literasi yang berevolusi dan bertrasnformasi maknanya. Sekarang ini, makna literasi menjadi lebih kompleks dan luas. Selain itu, literasi juga ternyata sangat berpengaruh pada perkembangan suatu bangsa. Tingginya literasi berbanding lurus dengan kemajuan negaranya. Tingkat kemampuan literasi kita dapat diukur dengan tujuh dimensi dalam literasi. Sehingga, kita dapat melihat apakah kita telah bagus disemua bidangnya. Daya literasi individu berkontribusi pada daya literasi suatu negara. Maka, setelah kita mengetahui sejauh mana kemampuan literasi kita, kita dapat berbedah diri demi kemajuan bangsa ini. Sudah menjadi berita biasa bila Indonesia menempati strata bawah dalam literasi dunia. Oleh sebab itu, rekayasa literasi perlu dilakukan di Indonesia. Merekayasa pengajaran literasi menajdi pilihan yang bijak karena hanya dalam dunia pendidikanlah pengejaran literasi dapat ditanamkan pada siswa. Pendidikan merupakan ujung tombak kemajuan literasi.


DAFTAR PUSTAKA

(Alwasilah, pokoknya rekayasa literasi, 2012)
http://dafrianzah.blogspot.co.id/2014/09/pengembangan-literasi-siswa-dalam.html








1 komentar:

  1. ini sumber rujukannya selain dari web ga ada dari bukunya, kalo ada buku apa aj?

    BalasHapus