MAKALAH SATRA ANGKATAN 70
PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIA
UNIVERSITAS PASUNDAN BANDUNG
2014
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Dewasa ini banyak masyarakat yang belum mengenal
sastrawan-sastrawan di negerinya. Kebanyakan orang hanya mengenal namanya saja
tanpa mengetahui asal usul apalagi latar belakangnya.
Dalam sejarah sastra indonesia, karya sastra bisa
dibagi berdasarkan periodisasinya. Periodisasi adalah kronologi perjalanan sastra atas masanya,
biasanya berupa dekade-dekade. Pada dekade-dekade tertentu dikenal
angkatan-angkatan kesusastraan, misalnya Angkatan Balai Pustaka, Angkatan
Pujangga Baru, Angkatan ’45, Angkatan ’66, Angkatan 70, dan Angkatan 2000.
Maka dari
itu, makalah ini dibuat untuk mengenalkan sastrawan-sastrawan angkatan 70 an.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan Latar Belakang Masalah diatas, penulis merumuskan rumusan masalah
berikut:
A. Sastra
periodisasi 70
B. Ciri-ciri
sastra
C. Jenis
karya sastra ankatan 70
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Sastra Periode 70
Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Dami N. Toda
dalam kertas kerjanya “Peta-peta Perpuisian Indonesia 1970-an dalam sketsa” yang
diajukan dalam diskusi sastra memperingati ulanh tahun ke-5 Majalah Tifa sastra
I Fakultas Sastra UI (25 Maret 1977). Kertas kerj ini kemudian dimuat di
Majalah Budaya Jaya (September 1997). Menurut Dami, angkatan 70 dimulai dengan
novel-novel Iwan Simatupang, yang jelas punya wawasan estetika novel
tersendiri; lalu teaternya Rendra serta puisinya “Khotbah” dan “Nyanyian
Angsa”, juga semakin nyata dalam wawasan estetika perpuisian Sutarji Calzoum
Bachri dan cerpen-cerpen dari Danarto, seperti “Godlob”, “Rintik”, dan
sebagainya.
Angkatan
ini ditandai dengan terbitnya majalah Horison. Semangat avant garde sangat menonjol pada angkatan ini. Banyak karya sastra
pada angkatan ini yang sangat beragam dalam aliran sastra, munculnya karya
sastra beraliran surrealistik, arus kesadaran, arketip, absurd, dan lain-lain
pada masa angkatan ini di Indonesia Penerbit Pustaka Jaya sangat berpengaruh
membantu dalam menerbitkan karya-karya sastra pada masa angkatan ini. Sastrawan
pada akhir angkatan yang lalu termasuk juga dalam kelompok ini.
Perkembangan
sastra yang demikian akan menjadi penting bilamana pengenalan terhadap
nilai-nilai dan tradisi sastra subkultur tersebut dilakukan secara mendalam,
tidak saja oleh para penyair yang berasal dari subkultur masing-masing, tetapi
juga oleh pemerintah dan masyarakat yang bukan berasal dari subkultur tersebut.
Dilakukan suatu usaha dimana nilai-nlai dan tradisi sastra dari masing-masing
subkultur bisa saling dikenal oleh penyair dan masyarakat subkultur yang lain
di Nusantara.
Adapun sastrawan-sastrawan yang terkenal di Angkatan 70
antara lain:
1. Taufiq Ismail
Lahir di Bukit Tinggi, 25 Juni 1937. Di
besarkan di Pekalongan, telah mulai mengumumkan sajak-sajak, cerpen-cerpen dan
esai-esai nya sejak tahun1994. Tetapi baru pada awal tahun 1966 muncul kemuka, ketika sajak-sajak yang
ditulis nya dengan nama samaran Nur fadjar diumumkan dengan judul Tirani
ditengah-tengah demonstrasi para mahasiswa dan pelajar menyampaikan “tritura”.
Sajak-sajak itu seluruhnya ada 18 dan ditulis dalam waktu seminggu (tanggal 20
dan 28 februari1966) dan diterbitkan dalam bentuk stensilan sebagai nomor
khusus majalah gema psychology. Sebulan kemudian penerbitan Tirani disusul oleh
benteng. Dalam kumpulan ini Taufik sudah terang-terangan mengumumkan namanya sendiri.
Ketika itu kekuasaan Soekarno sudah mulai mundur. Antara tanggal 20 dengan 28
februari 1966 di Jakarta terjadi peristiwa-peristiwa penting: Demonstrasi
mahasiswa dan pelajar menuntut “tritura” sudah dimulai tanggal 10 januari.
Tetapi hasilnya boleh dikatakan belum ada. Soekarno tidak mendengarkan
“tritura”. Kabinet Dwikora yang disinyalir mempunyai menteri-menteri yang
terlibat Gestapu bukan diganti dengan kabinet yang lebih anti Gestapu, tetapi
malah memasukkan menteri-menteri Gestapu lebih banyak lagi, tanggal 24 februari
kabinet Dwikora yang diperbaharui akan dilantik. Para mahasiswa bergerak
Demonstrasi dilakukan dengan aksi pengempesan ban mobil diseluruh kota sehingga
lalu lintas lumpuh. Para Demonstran tak henti-hentinya berteriak menyuarakan
tuntutannya dan mengejek para prajurit sebagai “anjing istana”. Penembakan
terjadi, Arif Rachman Hakim tertembak dan wafat. Meninggalnya Arif Rachman Hakim menyebabkan
para mahasiswa dan pelajar menjadi lebih marah lagi. Pemakaman Arif Rachman
Hakim dilakukan secara pahlawan dan mendapat simpati dari seluruh lapisan
masyarakat. Orang yang mengiringkan jenazah Arif Rachman Hakim ke perkuburan
sangat banyak.
Peristiwa di sekretariat Negara di rekamkan
dalam sajaknya “sebuah jaket berlumur darah”, ‘jalan segara’ dan peristiwa
hari-hari kemudiannya, tatkala terjadi pembunuhan terhadap Arif Rachman Hakim
di rekamkan dalam sajak-sajaknya ‘karangan bunga’, ‘salemba’, ‘percakapan
angkasa’, ‘aviasi’ dan ‘seorang tukang rambutan pada istrinya’. Belakangan ini
Taufiq, kecuali duduk sebagai anggota dewan, kesenian Jakarta dan anggota
redaksi majalah Horison, banyak menulis kolom (sebagai kolumnis) dalam berbagai
harian di Jakarta ia pun masih banyak menulis sajak, cerpen-cerpen serta
esai-esai.
2.
Goenawan Mohamad
Lahir di Batang, Jawa Tengah,
29 juli 1941. Ia adalah tokoh pejuang angkatan ’66 dalam bidang sastra budaya.
Memimpin majalah Tempo sejak 1971 hingga tahun 1998.
Tahun 1972 mendapatkan Anugerah Seni dari
Pemerintah Republik Indonesia dan pada tahun 1973 ia mengikuti Festival
Penyair Internasional di Rotterdam. Ia banyak menulis puisi dengan
dasar dongeng-dongeng daerah atau cerita wayang disertai renungan kehidupan.
Buku kumpulan puisinya adalah Parikesit (1972), Potret
Seorang Penyair Muda Sebagai Si Malin kundang (1972), Interclude (1973), Asmarandana (1995),
dan Misalkan Kita di Sarajevo (1998).
Goenawan Mohamad lebih dikenal sebagai penulis esai.
Esai-esainya tajam dan ditulis dengan penuh kesungguhan, tetapi ia pun
sebenarnya seorang penyair yang berbakat, produktif pula. Sajak-sajaknya banyak
tersebar dalam majalah-majalah. Sajak-sajak itu mempunyai suasana muram sepi
menyendiri. Kesunyian manusia di tengah alam sepi tanpa katamenjadi tema yang
banyak kita jumpai dalam sajak-sajaknya.
3. Sapardi Djoko Darmono
Puisi-puisi Sapardi Djoko Damono
dikenal sebagai puisi “sangat sopan”, “sangat gramatikal”, dan “sangat lembut”.
Semula sang penyair tidak pernah dikaitkan dengan puisi-puisi protes atau
kritik sosial, namun kesan itu hilang setelah ia menulis Ayat-ayat Api (2000).
Meskipun ada kesan bahwa puisi-puisi Sapardi adalah puisi-puisi kamar yang
harus dibaca dalam keadaan sunyi, namun banyak juga puisi-puisinya yang sangat
populer dan dideklamasikan dalam lomba-lomba deklamasi serta dapat
dikategorikan sebagai puisi auditorium (cocok untuk dibaca di pentas).
Kepenyairan Sapardi membentang
sejak tahun 1960-an hingga saat ini. Kumpulan puisinya terakhir berjudul Ayat-ayat
Api. Kepenyairannya tidak mengganggu penjelajahannya dalam dunia ilmu
sastra, sampai beliau menjadi pakar sastra, Dekan Fakultas Sastra Universitas
Indonesia, dan terakhir sebagai anggota Komisi Disiplin Ilmu Sastra dan
Filsafat, Dirjen Pendidikan Tinggi Depdiknas.
Kumpulan-kumpulan puisinya adalah Dukamu
Abadi (1969), Mata Pisau (1974),Akuarium (1974), Perahu
Kertas (1984), Sihir Hujan (1989), Hujan
Bulan Juni (1994) dan Ayat-ayat Api (2000).
4. Hartoyo Andang Jaya
Lahir di Solo, 1930, dan meninggal
dunia di kota itu pula pada tahun 1990. Pernah menjadi guru SLTP, SMU, dan STM.
Ia pernah menjadi direktur majalah kanak-kanak Si Kuncung (1962-1964).
Panggilan kepenyairanya sangat kental, sehingga ia tidak mau bekerja di luar
bidangnya itu. Ia meninggal dalam keadaan sakit-sakitan. Setahun kemudian, hari
kematiannya diperingati di Taman Budaya Surakarta (Solo)
dan Taman Ismail Marzuki (Jakarta). Karyanya antara lain Simfoni
Puisi (bersama D.S. Moeljanto, 1945) dan Buku Puisi
(1973).
5. Sutardji Calzoum Bachri
Sutardji Calzoum Bachri pernah
menyatakan diri sebagai “Presiden Penyair Indonesia”. Pelopor penulisan puisi
konkret dan mantra ini akhir-akhir ini banyak terlibat dalam pembacaan puisi di
sekolah dalam rangka pembinaan apresiasi puisi. Ia merintis bentuk baru dalam
perpuisian Indonesia, yaitu puisi konkret dan mantra, puisi itu dikembalikan
pada kodratnya yang paling awal yaitu sebagai kekuatan bunyi yang tidak
“dijajah” oleh makna atau pengertian.
Sutardji lahir di Rengat,
Riau, 24 juni 1941. Ia pernah mendapat Hadiah Seni dari
Pemerintah Republik Indonesia (1993) dan dari Dewan Kesenian Jakarta
(1976-1977) juga dari South East Asia Write Award (Bangkok, 1981).
Kumpulan puisinya berjudul O, Amuk Kapak (1981).
Selain itu, kritik sastranya dilontarkan dalam masalah penulisan terkenal
dengan nama kredo puisi.
6. Abdul Hadi W.M.
Abdul Hadi Wiji Muntari lahir di
sumenep pada tanggal 24 juni tahun 1944, ia pernah kuliah di Fakultas Sastra
UGM hingga Sarjana Muda (1967), Fakultas Filsafat UGM (1968-1971) dan
Universitas Padjajaran (1971-1973), dia pernah tinggal di pulau penang. Selain itu, dia bekerja
sambil belajar di Universitas Sains Malaysia sejak tahun 1991. Kumpulan
puisinya Riwayat (1967), Laut Belum Pasang (1972), Potret
Panjang Seorang Pengunjung Pantai Sanur (1975), Meditasi (1976),
Tergantung pada Angin (1977) dan Anak Laut Anak Angin (1984).
7. Yudhistira Adhi Nugraha Massardi
Lahir di Subang, Jawa Barat, 28
Februari 1954. Novelnya yang terkenal yaitu Arjuna Mencari
Cinta (1977) dan Dingdong (1978). Sementara itu
kumpulan puisinya dibukukan dalam Omong Kosong (1978), Sajak
Sikat Gigi (1978), Rudi Jalak Gugat (1982).
Puisi-puisinya mirip dengan puisi mbling, yaitu puisi yang keluar
dari pakem penulisan puisi yang harus memperhatikan rima, bunyi, verifikasi,
dan tipografi, tapi bukan berarti bahwa puisinya dibuat dengan main-main atau
tanpa kesungguhan.
8. Apip Mustopa
Lahir di Garut, 23 April 1938.
Terakhir bekerja sebagai pengasuh ruang sastra budaya RRI Manokwari
(1969-1970). Karyanya ditulis dalam bahasa Indonesia dan Sunda. Puisi-puisinya
juga dimuat dalam antologi sastra karya Ajip Rosidi Laut Biru Langit
Biru.
9. D. Zawami Imron
Lahir di Sumenep, Madura dan
memperoleh pendidikan di lingkungan pesantren. Ia pernah mendapat Hadiah
Penulisan Puisi dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1985). Buku kumpulan puisinya
adalah Semerbak Mayang (1977), Bulan Tertusuk Larang (1980), Nenek
Moyangku Air Mata (1985), Cerulit Emas (1986), Bantalku
Ombak, SelimutkuAngin (1996), Semerbak
Mayang (1997), dan Madura Aku Darah-Mu (1999).
10. Iwan
Simatupang
Lahir 18 januari 1928 di Sibolga,
Sumatera Utara dan meninggal 4 Agustus 1970 di Jakarta. Ia pernah mengikuti
kuliah di Fakultas Kedokteran di Surabaya, memperdalam antropologi dan drama di
Belanda, serta belajar filsafat di Paris.
Diantara karya-karyanya Merahnya merah (roman), Kering
(roman), Ziara (roman), Kooong (roman).
11. Danarto
Lahir di Sragen Jawa Tengah 27 Juni
1940 adalah penulis dan sastrawan Indonesia. Karyanya yang terkenal diantaranya
adalah kumpulan cerpen, godlob.
Kumpulan cerpennya yang lain Adam
ma’rifat memenangkan hadiah sastra 1982 dewan kesenian Jakarta dan hadiah
buku utama 1982. Tahun 2009 Danarto menerima Ahmad Bakrie Award untuk bidang
kesusastraan.
12. Putu Wijaya
Lahir di Puri Anom Tabanan,
Tabanan Bali 11 April 1944 adalah seorang sastrawan yang dikenal serba bisa. Ia
penulis drama, cerpen, esai, novel dan juga scenario, film dan sinetron.
Karyanya Orang-orang Mandiri (Drama), Lautan Bernyayi (Drama), Telegram
(Novel), Stasiun (Novel), Hah (Novel), Keok (Novel), Anu (Drama), MS (Novel),
Sobat (Novel), Tak Cukup Sedih (Novel).
2.2. Ciri-ciri Karya Sastra Angkatan 70
Pada masa ini para pengarang sangat bebas bereksperimen dalam penggunaan
bahasa dan bentuk.
a.
Puisi
Struktur Fisik
1.
Puisi
bergaya mantera menggunakan sarana kepuitisan berupa: ulangan kata, frasa, atau
kalimat
2.
Puisi
konkret sebagai eksperimen
3.
Banyak
menggunakan kata-kata daerah untuk member kesan ekspresif
4.
Banyak
menggunakan permainan bunyi
5.
Gaya
penulisan yang prosaic (bersifat prosa)
6.
Menggunakan
kata yang sebelumnya tabuh
Struktur Temantik
1.
Kesadaran
aspek bahwa manusia merupakan subjek dan bukan objek pembangunan
2.
Banyak
mengungkapkan kehidupan batin religius
3.
Cerita
dan pelukisan bersifat alegoris atau parabel
4.
Perjuangan
hak-hak asasi manusia: kebebasan, persamaan, pemerataan, dan terhindar dari
pencemaran teknologi modern
5.
Kritik
sosial terhadap sikuat yang bertindak sewenang-wenang terhadap mereka yang
lemah.
6.
Kritik
sosial terhadap sikuat yang bertindak sewenang-wenang terhadap mereka yang lemah.
b.
Prosa
dan Drama
Sturktur Fisik
1.
Melepaskan
ciri konfesional menggunakan pola sastra “absurd” dalam tema dan alur serta
tokoh maupun latar
2.
Menampakan
ciri latar kedaerahan “warna lokal”
Struktur
Temantik
1.
Sosial:
politik, kemiskinan, dll.
2.
Kejiwaan
3.
Metafisik
2.3.Jenis-jenis Karya Sastra Angkatan 70
NASIHAT-NASIHAT KECIL ORANGTUA PADA ANAKNYA BERANGKAT DEWASA
Oleh: Taufik
Ismail
Jika adalah yang harus kau lakukan
Ialah menyampaikan kebenaran
Jika adalah yang tidak bisa dijual
belikan
Ialah yang bernama keyakinan
Jika adalah yang harus kau
tumbangkan
Ialah segala pohon-pohon kedzaliman
Jika adalah orang yang harus kau
agungkan
Ialah hanya rasul tuhan
Jika adalah kesempatan memilih mati
Ialah syahid dijalan illahi
SENJATAPUN JADI KECIL,
KOTAPUN JADI PUTIH
Senjapun jadi kecil
Kotapun jadi putih
Disubway
Aku tak tahu saatpun sampai
Ketika berayun musim
Dari sayap langit yang beku
Ketika burung-burung, dirumput
dingin
Terhenti mempermainkan waktu
Ketika kita berdiri sunyi
Pada dinding biru ini
Mengitung ketidak pastian dan
bahagia
Menunggu seluruh usia.
PIL
Oleh: Sutardji Calzoum Bachri
Memang pil seperti pil macam
pil walau
Pil
Hanya pil hampir pil sekedar
pil ya toh pil
Meski pil tapi tak pil apalah
pil
Pil pil pil mengapa gigil?
Aku demam pil bilang
Obat jadi barah
Apakah pasien?
Tempeleng!
Sajak Kecil Tentang Cinta
Oleh: Sapardi Djoko Damono
Mencintai angin harus
Menjadi siut...
Mencintai air harus
Menjadi ricik...
Mencintai gunung harus
Menjadi terjal...
Mencintai api harus
Menjadi jilat...
Mencintai cakrawala harus
Menebas jarak...
mencintaiMu harus
menjadi aku
BAB III
SIMPULAN
3.1.
Simpulan
Pada Angkatan 70 ini tidak ada peristiwa besar yang terjadi seperti pada
angkatan 45 dan angkatan 66, tetapi bukan berarti sastra angkatan 70-an tanpa
konsepsi.. Konsepsi ini dituangkan dalam karya-karya penuh eksprimen baik dalam
bentuk maupun bahasa. Karya masa ini menunjukkan karakter yang berbeda dengan
karya sastra sebelumnya. Pada angkatan ini lahirlah sebuah karya sastra dalam
bidang puisi yang disebut sebagai puisi mbling.
Adapun pengarang angkatan 70 diantaranya: Taufiq
Ismail, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Darmono, Hartoyo Andang Jaya,
Sutardji Calzoum Bachri, Yudhistira Adhi Nugraha Massardi, Abdul Hadi W.M.,
Apip Mustopa, D. Zawami Imron, Iwan Simatupang, Danarto, Putu Wijaya. Ciri-ciri Karya Sastra Angkatan 70 berupa puisi, prosa dan drama.
DAFTAR PUSTAKA
Editorial Padi. 2014. Kumpulan Super Lengkap
Sastra Indonesia. Jakarta. Padi
Esten, Mursal. 2013. Sastra Indonesia dan Tradisi
Subkultur. Bandung. Angkasa
Redaksi PM.2012. Sastra Indonesia Paling Lengkap.
Depok. Pustaka Makmur
Rosidi, Ajib. 2013. Ikhtisar Sejarah Sastra
Indonesia. Bandung. PT Dunia Pustaka Jaya
Jamal dkk. 2014. 33 Tokoh Sastrawan Indonesia.
Bandung. PT Dunia Pustaka Jaya
www.Wikipedia.com