Kamis, 06 November 2014

Sastra Angkatan 70

MAKALAH SATRA ANGKATAN 70
PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIA 
UNIVERSITAS PASUNDAN BANDUNG
2014

PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Dewasa ini banyak masyarakat yang belum mengenal sastrawan-sastrawan di negerinya. Kebanyakan orang hanya mengenal namanya saja tanpa mengetahui asal usul apalagi latar belakangnya.
Dalam sejarah sastra indonesia, karya sastra bisa dibagi berdasarkan periodisasinya. Periodisasi adalah  kronologi perjalanan sastra atas masanya, biasanya berupa dekade-dekade. Pada dekade-dekade tertentu dikenal angkatan-angkatan kesusastraan, misalnya Angkatan Balai Pustaka, Angkatan Pujangga Baru, Angkatan ’45, Angkatan ’66, Angkatan 70, dan Angkatan 2000.
Maka  dari itu, makalah ini dibuat untuk mengenalkan sastrawan-sastrawan angkatan 70 an.
           
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan Latar Belakang Masalah diatas, penulis merumuskan rumusan masalah berikut:
A.    Sastra periodisasi 70
B.     Ciri-ciri sastra
C.     Jenis karya sastra ankatan 70

BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Sastra Periode 70
Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Dami N. Toda dalam kertas kerjanya “Peta-peta Perpuisian Indonesia 1970-an dalam sketsa” yang diajukan dalam diskusi sastra memperingati ulanh tahun ke-5 Majalah Tifa sastra I Fakultas Sastra UI (25 Maret 1977). Kertas kerj ini kemudian dimuat di Majalah Budaya Jaya (September 1997). Menurut Dami, angkatan 70 dimulai dengan novel-novel Iwan Simatupang, yang jelas punya wawasan estetika novel tersendiri; lalu teaternya Rendra serta puisinya “Khotbah” dan “Nyanyian Angsa”, juga semakin nyata dalam wawasan estetika perpuisian Sutarji Calzoum Bachri dan cerpen-cerpen dari Danarto, seperti “Godlob”, “Rintik”, dan sebagainya.
Angkatan ini ditandai dengan terbitnya majalah Horison. Semangat avant garde sangat menonjol pada angkatan ini. Banyak karya sastra pada angkatan ini yang sangat beragam dalam aliran sastra, munculnya karya sastra beraliran surrealistik, arus kesadaran, arketip, absurd, dan lain-lain pada masa angkatan ini di Indonesia Penerbit Pustaka Jaya sangat berpengaruh membantu dalam menerbitkan karya-karya sastra pada masa angkatan ini. Sastrawan pada akhir angkatan yang lalu termasuk juga dalam kelompok ini.
Perkembangan sastra yang demikian akan menjadi penting bilamana pengenalan terhadap nilai-nilai dan tradisi sastra subkultur tersebut dilakukan secara mendalam, tidak saja oleh para penyair yang berasal dari subkultur masing-masing, tetapi juga oleh pemerintah dan masyarakat yang bukan berasal dari subkultur tersebut. Dilakukan suatu usaha dimana nilai-nlai dan tradisi sastra dari masing-masing subkultur bisa saling dikenal oleh penyair dan masyarakat subkultur yang lain di Nusantara.
Adapun sastrawan-sastrawan yang terkenal di Angkatan 70 antara lain:

1.      Taufiq Ismail
Lahir di Bukit Tinggi, 25 Juni 1937. Di besarkan di Pekalongan, telah mulai mengumumkan sajak-sajak, cerpen-cerpen dan esai-esai nya sejak tahun1994. Tetapi baru pada awal tahun 1966  muncul kemuka, ketika sajak-sajak yang ditulis nya dengan nama samaran Nur fadjar diumumkan dengan judul Tirani ditengah-tengah demonstrasi para mahasiswa dan pelajar menyampaikan “tritura”. Sajak-sajak itu seluruhnya ada 18 dan ditulis dalam waktu seminggu (tanggal 20 dan 28 februari1966) dan diterbitkan dalam bentuk stensilan sebagai nomor khusus majalah gema psychology. Sebulan kemudian penerbitan Tirani disusul oleh benteng. Dalam kumpulan ini Taufik sudah terang-terangan mengumumkan namanya sendiri. Ketika itu kekuasaan Soekarno sudah mulai mundur. Antara tanggal 20 dengan 28 februari 1966 di Jakarta terjadi peristiwa-peristiwa penting: Demonstrasi mahasiswa dan pelajar menuntut “tritura” sudah dimulai tanggal 10 januari. Tetapi hasilnya boleh dikatakan belum ada. Soekarno tidak mendengarkan “tritura”. Kabinet Dwikora yang disinyalir mempunyai menteri-menteri yang terlibat Gestapu bukan diganti dengan kabinet yang lebih anti Gestapu, tetapi malah memasukkan menteri-menteri Gestapu lebih banyak lagi, tanggal 24 februari kabinet Dwikora yang diperbaharui akan dilantik. Para mahasiswa bergerak Demonstrasi dilakukan dengan aksi pengempesan ban mobil diseluruh kota sehingga lalu lintas lumpuh. Para Demonstran tak henti-hentinya berteriak menyuarakan tuntutannya dan mengejek para prajurit sebagai “anjing istana”. Penembakan terjadi, Arif Rachman Hakim tertembak dan wafat.  Meninggalnya Arif Rachman Hakim menyebabkan para mahasiswa dan pelajar menjadi lebih marah lagi. Pemakaman Arif Rachman Hakim dilakukan secara pahlawan dan mendapat simpati dari seluruh lapisan masyarakat. Orang yang mengiringkan jenazah Arif Rachman Hakim ke perkuburan sangat banyak.
Peristiwa di sekretariat Negara di rekamkan dalam sajaknya “sebuah jaket berlumur darah”, ‘jalan segara’ dan peristiwa hari-hari kemudiannya, tatkala terjadi pembunuhan terhadap Arif Rachman Hakim di rekamkan dalam sajak-sajaknya ‘karangan bunga’, ‘salemba’, ‘percakapan angkasa’, ‘aviasi’ dan ‘seorang tukang rambutan pada istrinya’. Belakangan ini Taufiq, kecuali duduk sebagai anggota dewan, kesenian Jakarta dan anggota redaksi majalah Horison, banyak menulis kolom (sebagai kolumnis) dalam berbagai harian di Jakarta ia pun masih banyak menulis sajak, cerpen-cerpen serta esai-esai.

2.      Goenawan Mohamad
Lahir di Batang, Jawa Tengah, 29 juli 1941. Ia adalah tokoh pejuang angkatan ’66 dalam bidang sastra budaya. Memimpin majalah Tempo sejak 1971 hingga tahun 1998.
Tahun 1972 mendapatkan Anugerah Seni dari Pemerintah Republik Indonesia dan pada tahun 1973 ia mengikuti Festival Penyair Internasional di Rotterdam. Ia banyak menulis puisi dengan dasar dongeng-dongeng daerah atau cerita wayang disertai renungan kehidupan. Buku kumpulan puisinya adalah Parikesit (1972), Potret Seorang Penyair Muda Sebagai Si Malin kundang (1972), Interclude (1973), Asmarandana (1995), dan Misalkan Kita di Sarajevo (1998).
Goenawan Mohamad lebih dikenal sebagai penulis esai. Esai-esainya tajam dan ditulis dengan penuh kesungguhan, tetapi ia pun sebenarnya seorang penyair yang berbakat, produktif pula. Sajak-sajaknya banyak tersebar dalam majalah-majalah. Sajak-sajak itu mempunyai suasana muram sepi menyendiri. Kesunyian manusia di tengah alam sepi tanpa katamenjadi tema yang banyak kita jumpai dalam sajak-sajaknya.

3. Sapardi Djoko Darmono
Puisi-puisi Sapardi Djoko Damono dikenal sebagai puisi “sangat sopan”, “sangat gramatikal”, dan “sangat lembut”. Semula sang penyair tidak pernah dikaitkan dengan puisi-puisi protes atau kritik sosial, namun kesan itu hilang setelah ia menulis Ayat-ayat Api (2000). Meskipun ada kesan bahwa puisi-puisi Sapardi adalah puisi-puisi kamar yang harus dibaca dalam keadaan sunyi, namun banyak juga puisi-puisinya yang sangat populer dan dideklamasikan dalam lomba-lomba deklamasi serta dapat dikategorikan sebagai puisi auditorium (cocok untuk dibaca di pentas).
Kepenyairan Sapardi membentang sejak tahun 1960-an hingga saat ini. Kumpulan puisinya terakhir berjudul Ayat-ayat Api. Kepenyairannya tidak mengganggu penjelajahannya dalam dunia ilmu sastra, sampai beliau menjadi pakar sastra, Dekan Fakultas Sastra Universitas Indonesia, dan terakhir sebagai anggota Komisi Disiplin Ilmu Sastra dan Filsafat, Dirjen Pendidikan Tinggi Depdiknas.
Kumpulan-kumpulan puisinya adalah Dukamu Abadi (1969), Mata Pisau (1974),Akuarium (1974), Perahu Kertas (1984), Sihir Hujan (1989), Hujan Bulan Juni (1994) dan Ayat-ayat Api (2000).

4. Hartoyo Andang Jaya
Lahir di Solo, 1930, dan meninggal dunia di kota itu pula pada tahun 1990. Pernah menjadi guru SLTP, SMU, dan STM. Ia pernah menjadi direktur majalah kanak-kanak Si Kuncung (1962-1964). Panggilan kepenyairanya sangat kental, sehingga ia tidak mau bekerja di luar bidangnya itu. Ia meninggal dalam keadaan sakit-sakitan. Setahun kemudian, hari kematiannya diperingati di Taman Budaya Surakarta (Solo) dan Taman Ismail Marzuki (Jakarta). Karyanya antara lain Simfoni Puisi (bersama D.S. Moeljanto, 1945) dan Buku Puisi
(1973).
                                     
5. Sutardji Calzoum Bachri
Sutardji Calzoum Bachri pernah menyatakan diri sebagai “Presiden Penyair Indonesia”. Pelopor penulisan puisi konkret dan mantra ini akhir-akhir ini banyak terlibat dalam pembacaan puisi di sekolah dalam rangka pembinaan apresiasi puisi. Ia merintis bentuk baru dalam perpuisian Indonesia, yaitu puisi konkret dan mantra, puisi itu dikembalikan pada kodratnya yang paling awal yaitu sebagai kekuatan bunyi yang tidak “dijajah” oleh makna atau pengertian.
 Sutardji lahir di Rengat, Riau, 24 juni 1941. Ia pernah mendapat Hadiah Seni dari Pemerintah Republik Indonesia (1993) dan dari Dewan Kesenian Jakarta (1976-1977) juga dari South East Asia Write Award (Bangkok, 1981).
Kumpulan puisinya berjudul O, Amuk Kapak (1981). Selain itu, kritik sastranya dilontarkan dalam masalah penulisan terkenal dengan nama kredo puisi.

6. Abdul Hadi W.M.
Abdul Hadi Wiji Muntari lahir di sumenep pada tanggal 24 juni tahun 1944, ia pernah kuliah di Fakultas Sastra UGM hingga Sarjana Muda (1967), Fakultas Filsafat UGM (1968-1971) dan Universitas Padjajaran (1971-1973), dia pernah tinggal di pulau penang. Selain itu, dia bekerja sambil belajar di Universitas Sains Malaysia sejak tahun 1991. Kumpulan puisinya Riwayat (1967), Laut Belum Pasang (1972), Potret Panjang Seorang Pengunjung Pantai Sanur (1975), Meditasi (1976), Tergantung pada Angin (1977) dan Anak Laut Anak Angin (1984).

7. Yudhistira Adhi Nugraha Massardi
Lahir di Subang, Jawa Barat, 28 Februari 1954. Novelnya yang terkenal yaitu Arjuna Mencari Cinta (1977) dan Dingdong (1978). Sementara itu kumpulan puisinya dibukukan dalam Omong Kosong (1978), Sajak Sikat Gigi (1978), Rudi Jalak Gugat (1982). Puisi-puisinya mirip dengan puisi mbling, yaitu puisi yang keluar dari pakem penulisan puisi yang harus memperhatikan rima, bunyi, verifikasi, dan tipografi, tapi bukan berarti bahwa puisinya dibuat dengan main-main atau tanpa kesungguhan.

8. Apip Mustopa
Lahir di Garut, 23 April 1938. Terakhir bekerja sebagai pengasuh ruang sastra budaya RRI Manokwari (1969-1970). Karyanya ditulis dalam bahasa Indonesia dan Sunda. Puisi-puisinya juga dimuat dalam antologi sastra karya Ajip Rosidi Laut Biru Langit Biru.

9. D. Zawami Imron
Lahir di Sumenep, Madura dan memperoleh pendidikan di lingkungan pesantren. Ia pernah mendapat Hadiah Penulisan Puisi dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1985). Buku kumpulan puisinya adalah Semerbak Mayang (1977), Bulan Tertusuk Larang (1980), Nenek Moyangku Air Mata (1985), Cerulit Emas (1986), Bantalku OmbakSelimutkuAngin (1996), Semerbak Mayang (1997), dan Madura Aku Darah-Mu (1999).



10. Iwan Simatupang
Lahir 18 januari 1928 di Sibolga, Sumatera Utara dan meninggal 4 Agustus 1970 di Jakarta. Ia pernah mengikuti kuliah di Fakultas Kedokteran di Surabaya, memperdalam antropologi dan drama di Belanda, serta belajar filsafat di Paris.
Diantara karya-karyanya Merahnya merah (roman), Kering (roman), Ziara (roman), Kooong (roman).

11. Danarto
Lahir di Sragen Jawa Tengah 27 Juni 1940 adalah penulis dan sastrawan Indonesia. Karyanya yang terkenal diantaranya adalah kumpulan cerpen, godlob. Kumpulan cerpennya yang lain Adam ma’rifat memenangkan hadiah sastra 1982 dewan kesenian Jakarta dan hadiah buku utama 1982. Tahun 2009 Danarto menerima Ahmad Bakrie Award untuk bidang kesusastraan.

12. Putu Wijaya
Lahir di Puri Anom Tabanan, Tabanan Bali 11 April 1944 adalah seorang sastrawan yang dikenal serba bisa. Ia penulis drama, cerpen, esai, novel dan juga scenario, film dan sinetron. Karyanya Orang-orang Mandiri (Drama), Lautan Bernyayi (Drama), Telegram (Novel), Stasiun (Novel), Hah (Novel), Keok (Novel), Anu (Drama), MS (Novel), Sobat (Novel), Tak Cukup Sedih (Novel).



2.2. Ciri-ciri Karya Sastra Angkatan 70

Pada masa ini para pengarang sangat bebas bereksperimen dalam penggunaan bahasa dan bentuk.
a.       Puisi
Struktur Fisik
1.      Puisi bergaya mantera menggunakan sarana kepuitisan berupa: ulangan kata, frasa, atau kalimat
2.      Puisi konkret sebagai eksperimen
3.      Banyak menggunakan kata-kata daerah untuk member kesan ekspresif
4.      Banyak menggunakan permainan bunyi
5.      Gaya penulisan yang prosaic (bersifat prosa)
6.      Menggunakan kata yang sebelumnya tabuh
Struktur Temantik
1.      Kesadaran aspek bahwa manusia merupakan subjek dan bukan objek pembangunan
2.      Banyak mengungkapkan kehidupan batin religius
3.      Cerita dan pelukisan bersifat alegoris atau parabel
4.      Perjuangan hak-hak asasi manusia: kebebasan, persamaan, pemerataan, dan terhindar dari pencemaran teknologi modern
5.      Kritik sosial terhadap sikuat yang bertindak sewenang-wenang terhadap mereka yang lemah.
6.      Kritik sosial terhadap sikuat yang bertindak sewenang-wenang terhadap mereka yang lemah.

b.      Prosa dan Drama
Sturktur Fisik
1.      Melepaskan ciri konfesional menggunakan pola sastra “absurd” dalam tema dan alur serta tokoh maupun latar
2.      Menampakan ciri latar kedaerahan “warna lokal”

Struktur Temantik
1.      Sosial: politik, kemiskinan, dll.
2.      Kejiwaan
3.      Metafisik












2.3.Jenis-jenis Karya Sastra Angkatan 70



NASIHAT-NASIHAT KECIL ORANGTUA PADA ANAKNYA BERANGKAT DEWASA

        Oleh: Taufik Ismail

Jika adalah yang harus kau lakukan
Ialah menyampaikan kebenaran
Jika adalah yang tidak bisa dijual belikan
Ialah yang bernama keyakinan
Jika adalah yang harus kau tumbangkan
Ialah segala pohon-pohon kedzaliman
Jika adalah orang yang harus kau agungkan
Ialah hanya rasul tuhan
Jika adalah kesempatan memilih mati
Ialah syahid dijalan illahi









SENJATAPUN JADI KECIL,
KOTAPUN JADI PUTIH

Senjapun jadi kecil
Kotapun jadi putih
Disubway
Aku tak tahu saatpun sampai
Ketika berayun musim
Dari sayap langit yang beku
Ketika burung-burung, dirumput dingin
Terhenti mempermainkan waktu
Ketika kita berdiri sunyi
Pada dinding biru ini
Mengitung ketidak pastian dan bahagia
Menunggu seluruh usia.








PIL
Oleh: Sutardji Calzoum Bachri

Memang pil seperti pil macam pil walau
Pil
Hanya pil hampir pil sekedar pil ya toh pil
Meski pil tapi tak pil apalah pil
Pil pil pil mengapa gigil?
Aku demam pil bilang
Obat jadi barah
Apakah pasien?
Tempeleng!


Sajak Kecil Tentang Cinta
Oleh: Sapardi Djoko Damono

Mencintai angin harus
Menjadi siut...
Mencintai air harus
Menjadi ricik...
Mencintai gunung harus
Menjadi terjal...
Mencintai api harus
Menjadi jilat...
Mencintai cakrawala harus
Menebas jarak...
mencintaiMu harus
menjadi aku


BAB III
SIMPULAN

3.1.  Simpulan

Pada Angkatan 70 ini tidak ada peristiwa besar yang terjadi seperti pada angkatan 45 dan angkatan 66, tetapi bukan berarti sastra angkatan 70-an tanpa konsepsi.. Konsepsi ini dituangkan dalam karya-karya penuh eksprimen baik dalam bentuk maupun bahasa. Karya masa ini menunjukkan karakter yang berbeda dengan karya sastra sebelumnya. Pada angkatan ini lahirlah sebuah karya sastra dalam bidang puisi yang disebut sebagai puisi mbling.
Adapun pengarang angkatan 70 diantaranya: Taufiq Ismail, Goenawan Mohamad,  Sapardi Djoko Darmono, Hartoyo Andang Jaya, Sutardji Calzoum Bachri, Yudhistira Adhi Nugraha Massardi, Abdul Hadi W.M., Apip Mustopa, D. Zawami Imron, Iwan Simatupang, Danarto, Putu Wijaya.  Ciri-ciri Karya Sastra Angkatan 70 berupa puisi, prosa dan drama.








DAFTAR PUSTAKA


Editorial Padi. 2014. Kumpulan Super Lengkap Sastra Indonesia. Jakarta. Padi
Esten, Mursal. 2013. Sastra Indonesia dan Tradisi Subkultur. Bandung. Angkasa
Redaksi PM.2012. Sastra Indonesia Paling Lengkap. Depok. Pustaka Makmur
Rosidi, Ajib. 2013. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Bandung. PT Dunia Pustaka Jaya
Jamal dkk. 2014. 33 Tokoh Sastrawan Indonesia. Bandung. PT Dunia Pustaka Jaya
www.Wikipedia.com

Rabu, 05 November 2014

MAKALAH MEMBACA SASTRA



PENDAHULUAN

A.Latar Belakang
Dewasa ini, penyebaran infomasi tidak hanya melalui lisan saja melainkan dari berbagai media cetak dapat kita peroleh. Oleh karena itu untuk cakap dalam membaca  sangatlah penting karena tanpa memiliki kemampuan membaca akan sulit untuk memperoleh berbagai informasi. Belajar membaca adalah salah satu dasar utama dalam bahasa. Hal ini diharapkan dengan membaca sastra dapat menumbuhkan minat baca dan mampu mengembangkan kemampuan berbahasa.
           
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan Latar Belakang Masalah diatas, penulis merumuskan rumusan masalah berikut:
A.    Apa yang dimaksud dengan membaca sastra?
B.     Sebutkan norma-norma karya sastra!
C.     Jelaskan perbedaan bahasa ilmiah dan bahasa sastra!
D.    Apa yang dimaksud dengan gaya bahasa?



C.  Tujuan Penulisan
            Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka yang menjadi tujuan pembahasan dalam makalah adalah sebagai  berikt:
1.      Untuk megetahui pengertian membaca sastra
2.      Untuk mengetahui norma-norma
3.      Untuk mengetahui perbedaan bahasa ilmiah dan bahasa sastra
4.      Untuk mengetahui maksud dari gaya bahasa











BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Membaca Sastra
Menurut Tarigan suatu karya sastra dapat dikatakan indah apabila baik dari segi bentuknya maupun dari segi isinya terdapat keserasian,keharmonisan yang satu dengan yang lainnya. Apabila seseorang dapat mengerti seluk-beluk bahasa dalam suatu karya sastra maka semakin mudah dia memahami isinya serta menikmati keindahannya.
2.2. Norma-norma Membaca Sastra
Agar suatu karya tersubut dapat dikatakan indah maka diperlukan norma-norma yang harus dipatuhi. Norma-norma tersebut sebagai berikut:
1)      Norma-norma estetis
      Apresiasi terhadap suatu karya sastra bukan saja sikap intelek manusia saja tetapi juga spirit serta emosi diri sendiri atau norma-norma tersebut dapat membantu kita dalam menentukan kualitas-kualitas yang membuatnya menjadi suatu karya sastra yang bermanfaat serta dapat menarik perhatian.
      Suatu karya sastra dikatakan dapat memenuhi tuntutan estetis kalau karya sastra itu:
a). Karya itu dapat menghidupkan ilmu pengetahuan kita.
b). Karya itu dapat membuat kita dapat hidup lebih lama dan kaya akan pengetahuan.
c). Karya itu membaca kita untuk lebih akrab dengan kebudayaan.

2)      Norma-norma sastra
Karya-karya kreatif agung dunia mengandung kualitas tertentu. Suatu karya kreatif dapat dianggap dan diakui sebagai suatu karya seni kalau:
a). Karya itu membuat kita merealisasi beberapa kebenaran mengenai dunia sekitar kita.
b). Karya itu bebas dan tidak terikat pada waktu dan tempat.
c). Karya itu memberikan sumbangan pada kenikmatan kita.
d). Karya itu merupakan suatu yang indah.

3)      Norma-norma moral
Suatu karya menampilkan tokoh yang bermoral sangat menusuk hati dan menyerang kesopanan manusia yang normal, maka karya itu tidak berhak masuk pada pandangan dan fisik kita.

4)      Norma-norma kritis
      Norma ini merupakan norma yang digunakan untuk membuktikan bahwa karya sastra itu mempunyai norma atau standar-standar tertentu yang dapat digunakan untuk menyaksikan bahwa ide-ide yang digunakan dalam karya sastra itu bukanlah ide yang merugikan.

.   2.3. Bahasa ilmiah dan Bahasa Sastra
Perbedaan antara bahasa ilmiah dengan bahasa sastra adalah:
Bahasa ilmiah           
Bahasa yang pada umunya bersifat denotatif, biasanya digunakan untuk laporan-laporan penelitian, dalam bidang kimia  dan fisika , karena itu merupakan fakta, bukan perasaan.
Bahasa sastra
Bahasa yang pada umumnya bersifat konotatif , biasanya terdapat pada cerpen, puisi dan pidato karena tulisan-tulisan seperti itu biasanya mengharapkan hal-hal yang berhubungan dengan emosi.

2.4.   Gaya Bahasa
Gaya bahasa yang terdapat dalam suatu karya sastra mencakup tiga hal yaitu:
1). Gaya bahasa yang sama-sama membuat komperasi atau pertandingan tetapi dengan cara berbeda.
      a). Jenis gaya bahasa yang pertandingannya paling singkat, padat dan tersusun rapi.
      Contoh:
                        Jinak-jinak merpati
                        Memburu untung
                        Ditimpa celaka

            Gaya bahasa kesamaan adalah suatu komperasi antara dua hal yang pada dasarnya tidak sama, mungkin saja secara menyolok sama dalam beberapa hal, yang menjelaskan maksud utama penulis.
      Contoh:
      Pendiam
      Mereka terlihat bak batu negeri yang tandus
      Pendek
      Para gembala sadeni adalah orang-orang yang asli
2). Hubungan
            Sinekdone dan metonomia merupakan gaya bahasa yang saling berhubungan. Sinekdone memberi nama pada suatu bagian apabila yang dimaksud adalah keseluruhan. Metonomia adalah keseluruhan pengganti sebagian.
      Contoh:
                        Berjuta-juta
                        Tangan-tangan
                        ABRI
3). Pernyataan
      Pernyataan mencakup tiga bagian:
a). Pernyataan yang berlebihan (hiperbola)
                  Gaya bahasa yang mengandung pernyataan yang berlebihan dengan maksud memberikan penekanan pada suatu pernyataan atau situasi untuk memperhebat, meningkatkan kesan dan pengaruh.
b). Di kecilkan (litotes)
                  Gaya bahasa yang mengandung pertanyaan yang dikecilkan, dikarangkan dari pernyataan sebenarnya.
      Contoh:
      H.B. jasin bukan kritikus jalanan
      Mohamed Ali bukanlah petinju yang jelek
c). Ironi
                  gaya Bahasa yang mengaplikasikan sesuatu yang berbeda bahkan ada yang bertentangan dari hal yang sebenarnya.

























BAB III
SIMPULAN

3.1. Simpulan
Dari penjelasan dan uraian diatas maka dapat disumpulkan bahwa:
Membaca akan menarik apabila rangkaian kata dalam sebuah buku itu indah. dapat dikatakan suatu karya sastra yang indah pun harus mengikuti norma-norma yang ada, yaitu:
  1. Norma Estetis
  2. Norma Sastra
  3. Norma Moral
  4. Norma Kritis
Dalam sebuah buku pun yang menarik perhatian adalah dari segi bahasanya. Ada bahasa ilmiah dan bahasa sastra. Bahasa ilmiah lebih bersifat denotatif sedangkan bahasa sastra bersifat konotatif.
Dengan adanya pengenalan serta pemahaman sejumlah gaya bahasa, kita akan lebih mantap lagi menikmati keindahan gaya sastra tersebut. Hal-hal yang termasuk kedalamnya antara lain:
a)      Perbandingan, yang mencakup metafora, kesamaan, dari analogi;
b)      Hubungan, yang mencakup metoninia, dan sinekdoke;
c)      Pernyataan, yang mencakup hiperbola, lilotes dan ironi;
           



DAFTAR PUSTAKA


Tarigan; Henry Guntur 1979 : Membaca Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Angkasa. Bandung.